Subak Bali: Pengorganisasian Sistem Sosial-Ekologi Terasiring Sawah Padi
Lokasi: Bali
Masyarakat: Subak
Teknologi: Terasiring Sawah Padi Subak
Ketinggian: 600–700 m
Awal mula: 100 SM
Di Indonesia, baik globalisasi maupun pariwisata tengah mengancam salah satu sistem sosial-ekologi tertua dunia, yakni subak. Istilah subak merujuk pada sistem terasiring sawah padi yang unik dan kelompok tani yang berdaulat atas pengelolaan air irigasi mereka sendiri serta waktu tanam yang sesuai dengan kalender upacara di pura air. Sampai saat ini, terdapat sekitar 12.000 kelompok tani yang tersebar di seluruh pulau Bali, masing-masing terdiri dari 50 hingga 400 petani, yang meneruskan tradisi subak. Sawah padi subak tradisional merupakan sistem agraria yang memiliki biodiversitas tinggi dan produktif. Dengan menggunakan siklus lokal penyebaran nutrisi dan monsun, terasiring subak mampu memproduksi padi selama ribuan tahun dalam skala DAS (daerah aliran sungai). Selama air bawah tanah masih mengisi lorong sisi dalam pulau seperti sarang lebah, terasiring subak terus memperbaiki permukaan tanah vulkanik yang keras menjadi topografi yang bertingkat, dan ketika tergenang di bawah sinar rembulan menyerupai bongkahan berlian.
Sistem sosial-ekologi: terdiri dari unit biologi, geologi, dan fisik yang berkaitan dengan pelaku serta institusi sosial
Biodiversitas: keragaman makhluk hidup dalam habitat atau ekosistem tertentu
Agraria: berhubungan dengan pertanian, lahan, dan area perdesaan
Monsun: iklim yg ditandai oleh pergantian arah angin dan musim hujan atau kemarau selang lebih kurang enam bulan
Daerah aliran sungai: area yang dipisahkan oleh aliran air menjadi sungai yang berbeda
Topografi: berhubungan dengan bentuk dan karakteristik permukaan bumi
Masyarakat petani di Bali telah lama meyakini gunung berapi sebagai rumah para dewa yang membawa kesuburan dan perlindungan bagi tanah mereka. Mereka dipandu oleh filosofi tradisional Bali yakni “Tri Hita Karana” yang berarti “Tiga Penyebab Kesejahteraan”. Istilah ini terambil dari kata Tri yang artinya tiga, Hita yang artinya keseimbangan atau sejahtera, dan Karana yang artinya penyebab. Tiga penyebab kesejahteraan yang dimaksud adalah Parahyangan atau ketuhanan, Pawongan atau manusia, dan Palemahan atau alam. Dalam filosofi ini terdapat dua sistem budaya yang dibentuk untuk menyucikan terasiring subak yakni Tribuana, aspek ruang yang membagi kosmos menjadi tiga dunia dan Nawa Sanga, sistem kosmologi yang berkaitan dengan tingkat kesucian yang berbeda dari lokasi hulu dan hilir. Petani subak menjadikan puncak hutan gunung vulkanik sebagai tempat suci dan dilindungi, yang diperlukan dalam menjaga kesehatan dan kesuburan terasiring sawah padi dengan cara menstabilkan tanah vulkanik, juga mengangkut hujan monsun yang kaya akan nutrisi untuk pemupukan. Aspek keagamaan subak berasal dari kepercayaan bahwa air irigasi adalah hadiah dari dewi Danau Batur, Dewi Danu. Subak yang dianugerahi manajemen hidrologi yang baik dan petani yang berkontribusi dalam skala kecil dengan hasil panen mereka tiap tahunnya dalam ritual keagamaan di pura subak, yang mana dipersembahkan untuk Dewi Danu dan dewata lain yang berkaitan dengan kesuburan tanah. Pura ini menyediakan tempat untuk pengelolaan sumber air secara bersama-sama melalui pendistribusian air ke seluruh DAS subak.
Jaringan pura air ini membentuk sistem distribusi air skala pulau, yang mewakili respon terhadap tantangan untuk mencukupi kebutuhan populasi yang semakin padat di Bali yang dipengaruhi oleh iklim munson. Alam pegunungan pulau dengan ngarai yang dalam dan hujan musiman, menciptakan ekosistem yang rentan terhadap kelangkaan air, penyakit, dan hama. Jaringan pura ini mengatasi masalah tersebut melalui jadwal pengelolaan irigasi subak dalam skala DAS, mengendalikan hama dengan siklus bera serentak untuk menghilangkan habitat mereka. Sistem pengelolaan ekologi terasiring sawah dalam skala DAS telah berevolusi sejak abad ke sebelas. Sebelum periode bera, pura air hulu dibuka untuk mengairi kanal yang menuju ke arah terasiring sawah di bawahnya. Pemangku adat bertugas mengarahkan aliran distribusi air menuju subak yang berbeda melalui sistem kanal. Ketika Ketika seluruh sawah dikosongkan secara serempak, hama yang bermigrasi untuk mencari makan dibasmi. Walaupun masing-masing subak fokus terhadap pengelolaan terasiring sawahnya sendiri, solusi skala besar dalam pembagian air muncul melalui jaringan pura yang mengoptimalkan irigasi untuk semua sawah.
Kosmologi: abang ilmu filosofi yang berkaitan dengan struktur asal alam semesta
Hidrologi: ilmu yang mempelajari karakteristik, distribusi, dan pengaruh air sebagai zat cair, padat, atau gas di permukaan bumi, di dalam tanah, dan bebatuan serta di atmosfer
Bera: lahan yang dibajak dan digaruk tetapi tidak ditanam selama beberapa waktu untuk mengembalikan kesuburan tanah sebagai bagian dari rotasi tanam
Petani subak memperoleh keuntungan dari proses ekologi alami. Ketika hujan mencuci mineral dari tanah vulkanik, sistem kanal irigasi menangkap mineral tersebut dari aliran mata air, sungai kecil, dan sungai besar, kemudian mengangkutnya langsung menuju terasiring sawah, sebagai pupuk alami. Bagian dasar terasiring sawah akan mengeras seara alami dan membentuk panci bajak yang menciptakan ekosistem mirip kolam akuatik alami sehingga meminimalisir hilangnya nutrisi dan rembesan air. Dengan mengendalikan aliran air secara hati-hati ke terasiring sawah, petani dapat mengatur proses biokimia yang meningkatkan pertumbuhan dan panen hingga sepuluh kali lipat dari jumlah rata-rata.
Di wilayah adat di Bali, sistem irigasi subak sangatlah kompleks dengan terowongan dan kanal labirin yang mengalirkan air melalui terasiring sawah. Ketika volume debit sungai selama munson mencapai 10 kali lebih besar dibanding musim kering, sistem subak mampu mencegah terjadinya banjir. Sebagian besar sistem irigasi subak dimulai dari sebuah bendungan, yang mengalihkan aliran ke dalam terowongan, dengan diameter terowongan menentukan aliran maksimum yang tingginya berkisar dari ruang merangkak hingga setinggi kepala pembuat terowongan utama.
Pencucian: substansi yang terlarut dari tanah karena adanya resapan cairan terutama air hujan
Rembesan: cairan atau gas yang keluar secara perlahan melalui pori-pori material atau lubang kecil
Terowongan muncul beberapa kilometer menuju hilir pada ketinggian yang lebih rendah, di mana air dialirkan melalui sistem kanal dan saluran air menuju puncak bukit bertingkat. Sistem irigasi yang berasal dari bendungan yang berbeda seringkali saling terhubung, sehingga air yang tidak digunakan dari ujung salah satu sistem irigasi akan dialihkan ke kelompok terasiring sawah yang berbeda atau kembali lagi ke aliran air disebelahnya.
Disamping padi menjadi produk utama dan spesies kunci kultural dalam subak, terasiring sawah juga menyediakan masyarakat dengan sumber protein hewani seperti belut, katak, ikan, dan capung. Anak-anak seringkali terlihat menangkap, membakar, dan memakan serangga yang mereka tangkap di sawah. Sebagian besar padi juga mendukung untuk budidaya bebek skala besar, dimana mereka digiring dari lahan satu ke lahan lain setelah panen, memakan sisa bulir yang tertinggal dan hama yang ada. Pengenalan spesies yang beragam ke dalam siklus hidup subak menciptakan simbiosis pengelolaan pengetahuan lokal yang kaya dan beragam.
Teknik panen secara tradisional dalam subak adalah dengan hanya memotong malai bulir, kemudian meninggalkan batang jerami untuk terdekomposisi di sawah. Tergantung pada resiko hama pascapanen, petani biasanya mengeringkan dan membakar jerami di lahan mereka, atau menggenangi lahan agar jerami terdekomposisi secara perlahan di bawah air. Gotong royong antar petani secara serempak adalah kunci keberhasilan pengendalian hama melalui pengeringan dan penggenangan lahan.
Saluran air: kanal buatan yang digunakan untuk membawa air
Spesies kunci kultural: Spesies yang sangat menonjol bagi suatu masyarakat, yang diidentifikasi berdasarkan seringnya penggunaan spesies tersebut dalam makanan, bahan baku, obat-obatan, bahasa, tradisi, sejarah, dan praktik spiritual
Pemukiman masyarakat Bali kuno terpusat pada wilayah yang sangat cocok untuk ditanami padi. Benih padi tradisional mampu memproduksi bulir dalam jumlah besar, tanpa pestisida atau pupuk, juga tanpa penurunan produksi di lahan. Sebaliknya, sistem pertanian irigasi lainnya justru menjadi penyebab terjadinya penurunan produktivitas secara bertahap, sebagai konsekuensi dari salinisasi dan degradasi tanah. Pada tahun 1970, pemerintah Bali mendorong penerapan Revolusi Hijau melalui penggunaan pupuk dan pestisida dalam jumlah masif di sistem subak, sehingga mengakibatkan munculnya kerusakan ekosistem sawah padi. Dalam beberapa musim, terjadi gagal panen, struktur tanah terdegradasi, biodiversitas serangga menurun, dan pura air subak dilupakan oleh masyarakat Bali. Revolusi Hijau menggantikan varietas benih tradisional dengan benih hibrida yang telah dimodifikasi secara genetik untuk dapat tumbuh cepat, produksi tinggi, dan bergantung pada penggunaan pupuk komersial. Hal ini mendorong kerusakan ekosistem yang lebih parah, ketika industri pariwisata mulai menjamur, memicu munculnya produk komersial yang tak terkendali, privatisasi sumber mata air (akuifer), kelangkaan air, dan polusi yang meningkat dari pembuangan limbah ilegal. Sebagai responnya, Warisan Budaya Dunia telah disematkan kepada subak dan pura air pada tahun 2012 untuk menyelamatkannya.
Pengenalan pupuk inorganik, varietas benih padi hibrida, dan pupuk kimia melalui Revolusi Hijau memiliki konsekuensi yang tak terduga, seperti limpasan residu pupuk ke laut ternyata mengancam kesehatan terumbu karang di sekeliling pulau Bali. Penggunaan pupuk berlebihan di sawah padi turut menyumbang jumlah bahan kimia berlebih ke dalam ekosistem pulau yang telah dirusak oleh penggunaan pestisida kimia. Pengenalan pestisida juga dilaporkan menggantikan metode pengendalian hama secara tradisional yang lebih efektif dan bebas biaya berdasarkan pengendalian aliran irigasi.
Praktek pertanian subak yang demokratis dan egaliter memungkinkan masyarakat Bali menjadi petani padi paling sukses di seluruh kepulauan Indonesia. Hari ini, subak yang masih bertahan tidak pasti jumlahnya karena ancaman dari polusi, pariwisata, modifikasi genetik, dan agrokimia. Sistem terasiring sawah padi subak, sebagai model pemikiran dan desain ekologi produktif yang inovatif, dan juga praktek budaya dan ekologi yang saling berhubungan membutuhkan perlindungan untuk ekologi subak dan kedaulatan pangan masyarakat Bali.
Salinisasi: proses akumulasi garam yang larut air di dalam tanah
Akuifer: celah bebatuan yang mengandung atau membawa air tanah
Limpasan: air yang terbawa dari permukaan suatu area
Seiring dengan teknologi pertanian yang menyebar di seluruh dunia, bagi mereka yang tinggal di wilayah pegunungan, adaptasi topografi diperlukan untuk mengubah lereng bukit menjadi lahan yang datar. Subak Bali tidak hanya berevolusi menjadi teknologi pembentukan tanah yang canggih, tapi juga menjadi salah satu gotong royong kelompok tani yang paling demokratis dan egaliter, yang memungkingkan petani Subak menjadi petani padi paling sukses di seluruh kepulauan Indonesia. Berada di bawah hutan keramat yang memberi air penuh mineral dan nutrisi, terasiring sawah padi digenangi dan dikeringkan bersamaan dengan hujan musiman dan lahan sawah di sekitarnya. Gotong royong dan pengelolaan pura air dalam subak adalah bentuk pencapaian dalam teknik dan keragaman pertanian yang tidak ada bandingannya dengan pertanian industri sekarang. Melalui jaringan pura air, pengelolaan jadwal irigasi subak dalam skala bendungan dan pengendalian hama yang berkaitan dengan siklus bera, mampu memproduksi padi secara organik lebih banyak tanpa pestisida atau pupuk. Seiring dengan pura air subak mulai ditinggalkan dan penggunaan agrokimia dalam jumlah masif, kelangkaan air dan polusi berlebihan tengah mengancam sistem subak itu sendiri. Di perkotaan, dimana kelangkaan air menjadi permasalahan dan kesadaran akan dampak negatif agrokimia, sistem terasiring sawah padi subak dan jaringan pura air menawarkan model desain ekologi yang inovatif dan produktif serta terintegrasi dengan pratik budaya yang menduung populasi sistem yang sejenis.
Referensi
Watson J. 2019. Lo-TEK design by radical indigenism. Germany: Taschen.