Sistem Pengaturan Panen Padi di Jawa: Periode Kolonial dan Awal Kemerdekaan
Literatur dari periode akhir kolonial dan awal kemerdekaan merefleksikan secara jelas dua penjelasan yang berkaitan tentng pengaturan pemanenan secara lokal yakni (1) lebih banyak penjelasan ekonomi berdasar tempat dan waktu dalam sistem panen dan pembayaran sebagai refleksi terhadap variasi keseimbangan antara suplai dan permintaan buruh tani, dan (2) lebih banyak penjelasan sosio-kultural, yang menitik beratkan pada dua hal berbeda tetapi memiliki faktor yang berhubungan: kepercayaan mistis-agama dan tekanan komunal untuk mengatur perekrutan buruh panen dan pembayarannya sebagai pengaturan distribusi yang merefleksikan hak komunal (yang dituakan) bagi masyarakat pedesaan untuk berbagi produksi beras bahkan ketika mereka tidak memiliki akses kendali terhadap lahan yang ditanam.
Teknik dan pengaturan pemanenan padi menarik perhatian akademisi dan pengurus pemerintah daerah di Jawa sejak awal abad ke-20 dan bahkan sebelumnya. Walaupun penggunaan sabit untuk pemanenan padi dikenal di beberapa daerah di Jawa pada periode kolonial, padi secara umum dipanen menggunakan sabit dengan ani-ani atau pisau jari. Penyebaran penggunaan ani-ani di Jawa meskipun ada sabit yang lebih efisien, di kebanyakan bagian wilayah Asia Selatan (Miles 1979), secara umum dilihat sebagai refleksi baik itu kepercayaan mistis-agama (van Dapperen 1931; Raffles 1817), atau komunal “seduluran”, sebagai ciri khas kehidupan desa orang Java (Boeke 1953; Geertz 1963), atau kombinasi keduanya:
Dikatakan (panen menggunakan sabit dengan ani-ani) merupakan penghormatan kepada Dewi Sri, Ratu Padi dalam ilmu Kejawen, sedangkan sisi sosialnya adalah memudahkan pekerjaan berat agar tercapai keuntungan produksi (van der Kolff 1936: 14).
Dalam kasus pemilik tanah yang kaya, pola ini diatur oleh tekanan sosial dari bawah (Wertheim 1964: 219), atau dengan pertimbangan status (Jay 1969: 255, berdasarkan penelitian lapang di awal tahun 1950an). Salah satu penulis mencoba mendemonstrasikan bahwa penggunaan ani-ani, walaupun membutuhkan tenaga sekitar 10 kali lebih banyak daripada sabit, tidak harus dihormati secara irasional dalam konteks skala kecil, bahkan ketika bawon (pembagian upah memanen padi) sebesar 1/5 jumlah yang dipanen yang menjadi peraturan, tetapi sebagai bentuk seduluran tiyang tani dan efisiensi dalam menggunakan waktu luang (Huizenga 1959: 568).
Pemanen umumnya dibayar dengan hasil panen dibanding uang, dan dalam bentuk bawon atau proporsi jumlah yang dipanen. Di awal abad ke-19, Raffles mencatat ada beberapa variasi berdasarkan tiap daerah dalam ukuran bawon yang dibayarkan (waktu itu, antara 1/6 dan 1/8 tapi dikasus lain sedapatnya paling tinggi ¼ atau serendahnya 1/12). Raffles mengaitkan variasi tersebut bukan berdasarkan tradisi lokal tapi masalah sederhana tentang suplai dan permintaan buruh tani yang bergantung pada waktu pengolahan pertanian. Bawon menjadi tinggi ketika panen terjadi diseluruh wilayah (Raffles 1817, Vol. I:121). Lebih dari seabad yang lalu, Versluys mengobservasi dari akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20, ada empat faktor yang mempengaruhi ukuran pembayaran bawon:
(1) waktu panen, bawon lebih tinggi ketika di wilayah tersebut panen terjadi secara menyeluruh, tetapi rendah ketika panen terjadi tidak secara bersamaan dalam jangka waktu yang lama;
(2) kualitas panen, meskipun studi skala besar tahun 1920an menunjukkan tidak ada korelasi antara bawon dengan hasil panen kotor, bawon lebih rendah ketika terjadi gagal panen, tetapi tinggi ketika lahan milik pribadi panen. Secara umum, bawon juga tinggi ketika panen di musim hujan dan rendah ketika panen di musim kering;
(3) hubungan sosial antara tuan tanah dan pemanen, kerabat dan tetangga, serta mereka yang terlibat dalam pengaturan pemanenan, menerima bawon yang lebih tinggi dibanding orang luar;
(4) input buruh pra-panen yang tidak terbayarkan kemudian dibayar ketika waktu panen (Versluys 1938). Beberapa penulis juga mencatat bahwa bawon bisa secara drastis berfluktuatif selama musim panen sebagai respon terhadap perubahan jangka pendek suplai dan permintaan buruh tani lokal (Versluys 1938; Scheltema 1931).
Hubungan antara keuntungan panen dengan buruh tani yang belum dibayar ketika pra-panen, umumnya dijumpai di Jawa di awal abad ke-20 (Vink 1941). Studi ekonomi agraria di Ngrowo, Kediri, Jawa Timur di tahun 1870an, bentuk pengaturan buruh tani umumnya, pembayaran pekerjaan penanaman dan penyiangan gulma dilakukan ketika waktu panen, dengan upah dalam bentuk hasil panen (Sollewijn Gelpke 1901). Upah dalam kasus ini bisa dua kali lebih tinggi bagi yang menerima pekerjaan pra-panen. Di Jawa Timur, kewajiban tugas pra-panen selain transplantasi bertahap menjadi beragam, dimana antara upah panen dan sewa-bagi hasil menjadi samar (Scheltema 1931).
Di Kediri, kedokan menjadi bisnis yang tidak hanya dilakukan oleh perempuan miskin tapi juga mereka yang mampu merekrut buruh tani untuk membantu mereka dalam transplantasi. Pengedok masih mendapat 1/5, kemudian bisa dapat lagi bawon (Scheltema 1931).
Tebasan (penjualan tanaman pangan sebelum masa panen), banyak ditemukan di komoditas buah dan bukan padi lainnya, bukan hal lumrah digunakan dalam model penjualan padi di akhir periode kolonial, walaupun ada beberapa laporan yang dikonfirmasikan. Hasil studi menemukan tebasan hanya ada di 10 dari 76 wilayah, dan jika ada, praktek itu kurang populer dibanding sistem ijon (penjualan padi belum matang, seringkali pra-panen) yang dilaporkan di 56 dari 76 wilayah (Hasselman 1912).
Van der Kolff (1936) mendiskripsikan perubahan pengaturan buruh tani di beragam lokasi di kecamatan Tulungagung, Jawa Timur menunjukkan lebih dari 40–50 tahun, dari 1880an — 1930an, memberikan keuntungan tidak biasa dalam observasi perubahan pengaturan pemanenan sebagai respon terhadap kondisi komersialisasi dan perkembangan ekonomi yang fluktuatif.
Di tahun 1880an atau 1890an, keikutsertaan perempuan dalam transplantasi dan pemanenan atau pakehan telah menjadi hal biasa di beberapa wilayah, dimana van der Kolff (1936) memandang hubungan tersebut sebagai bentuk campuran sistem pakehan asli tanpa ketentuan makanan dan bantuan bersama melalui institusi adat, Sambatan, dimana suplai makanan sudah menjadi kebiasaan. Penanam biasanya diundang ketika panen; pemanen lepas juga diperlukan (ngrampyang), tapi hanya setelah pakehan sudah melaksanakan kewajiban mereka, dan mereka biasanya memperoleh bawon yang rendah. Pakehan punya kewajiban yang tetap, sedangkan ngrampyang tidak.
Kuota untuk sistem kerja pakehan ditentukan berdasarkan periode dan tempat, sedangkan ngrampyang tidak memiliki proporsi penerimaan upah yang tetap. Pembagian upah untuk pemungut dipengaruhi oleh karakter keuntungan spesial dalam pekerjaan keseluruhan, dimana pertimbangan sosial (kekerabatan atau penduduk satu desa), ekonomi (suplai dan kebutuhan tenaga kerja) juga berpengaruh.
Kontrak kedokan pertama kali muncul di awal abad ke-20, melibatkan pekerja laki-laki dan perempuan, tidak ada makanan dan hasil pembagian panen yang sama sebagaimana berlaku di dalam sistem pakehan. Di beberapa komunitas, kontrak kerjanya mencakup banyak tugas (pembajakan untuk persiapan lahan, pengangkutan dan transportasi benih ke lahan, transplantasi, penyemaian dan pemanenan) yang menjadi kesepakatan sewa-bagi hasil dan penyewa pekerja pengedok, tapi cukup sering disewakan lagi ketika panen keseluruhan (van der Kolff 1936).
Periode awal 1920an dan revolusi hijau 1970an dicirikan dengan pertumbuhan di sektor pertanian, kenaikan harga dan penetrasi cepat uang tunai ke ekonomi pedesaan, tetapi disatu sisi juga muncul rasionalisasi pengaturan pekerja dimana buruh tani memperoleh upah yang stagnan atau menurun meskipun terjadi pertumbuhan di segala sektor. Van der Kolff (1922) menemukan adanya campuran antara sambatan, pakehan, kedokan, bawon dan transaksi upah tunai. Sambatan masih ada di fase penyiapan lahan tapi makin jarang jika dibandingkan dengan transaksi upah tunai; pakehan dan kedokan menjadi kurang populer, sehingga memberikan ruang bagi upah tunai dalam tugas transplantasi dan pekerjaan pra-panen lainnya. Kaum perempuan menjadi lebih aktif dibanding periode sebelumnya, menggantikan peran laki-laki dalam menyiang gulma. Peningkatan penggunaan buruh tani perempuan justru menurunkan upah tenaga kerja panen dengan sistem bawon dari yang sebelumnya melalui sistem pekerja ngrampyang.
Van der Kolff (1936) juga menjelaskan kombinasi peningkatan diferensiasi sosial antara pemilik lahan dan kelas petani tanpa tanah yang semakin lebar menyebabkan peningkatan populasi dan introduksi penggunaan uang. Diferensiasi sosial, bergabung dengan pertumbuhan populasi dan permintaan yang stagnan dari sektor pertanian menyebabkan peningkatan ketergantungan buruh tani tanpa tanah dan petani kecil terhadap petani besar. Disatu sisi, peningkatan kebutuhan pokok petani (untuk pajak yang meningkat, pembelian barang konsumtif dan lainnya) membuat harga buruh menjadi tinggi, disamping pemilik tanah mungkin menghadapi beberapa persoalan dalam menekan upah rendah. Faktor kelaurga dan kekerabatan masih memperoleh pengaturan kedokan dengan bonus pembayaran di atas bawon.
Jatuhnya harga mengakibatkan akses terhadap uang tunai di ekonomi pedesaan mengalami regresi ke arah ekonomi lama yang serba mandiri. Menurut van der Kolff, hal ini melibatkan pengembalian sistem lama dalam tenaga kerja dimana hubungan solidaritas antara kaya dan miskin masih kental. Sambatan muncul dari fenomena tersebut dan berperan penting dalam membentuk syarat buruh tani di fase penyiapan lahan juga ketika penyiangan gulma. Dalam komunitas ini, dimana kontrak kedokan ditolak sebelumnya, mengalami peningkatan kembali; kesepakatan pakehan telah mengembalikan ‘gairah hidup’ melalui kondisi yang lebih kompleks dan terbatas pada hak-hak pemanen pakehan, dan pembagian bawon sederhana yang meningkat (dari 1/10 ke 1/8 atau 1/9, dari 1/8 ke 1/7 dst, dan dalam kasus hubungan kekerabatan dan tetangga, bisa mencapai 1/5 atau 1/3).
Depresi dekomersialisasi agraria tahun 1930an hampir tidak mulai membalikkan dirinya sendiri ketika diperkuat oleh pendudukan Jepang dan revolusi nasional berikutnya (1942–49), diikuti dengan turbulensi awal kemerdekaan di tahun 1950an dan awal 1960an. Meskipun hal ini menarik untuk diketahui lebih banyak tentang apa yang terjadi dengan pengaturan panen selama periode ini, sangat sedikit informasi yang tersedia, sampai dimulainya program intensifikasi padi Bimas pada akhir 1960an.
Selama periode ini banyak petani bereksperimen dengan teknik baru, misalnya pengomposan dan penanaman baris lurus, yang tidak berhasil diperkenalkan oleh kependudukan Jepang dan diadopsi dengan antusias oleh banyak petani setelah mereka pergi (Selosoemardjan 1962); hingga awal 1960an rata-rata hasil panen padi per hektar mencapai atau lebih dari panen ketika periode akhir kolonial (White 1989). Dalam suasana politik yang tinggi di periode ini, tidak mengherankan bila menemukan ketegangan dan konflik dalam kaitannya dengan pemanenan padi. Di beberapa wilaya di Jawa, Gerwani dan Pemuda Rakyat (organisasi perempuan dan pemuda yang berhubungan dengan Partai Komunis Indonesia) mengampanyekan perlawanan terhadap kontrak ceblokan/kedokan (tenaga kerja eksklusif), mengakibatkan pelarangan oleh pemerintah lokal di beberapa daerah (Krawang dan Tjondronegoro 1978).
Ketegangan tersebut semakin buruk, tetapi dalam konteks politik pedesaan yang berubah drastis, pada tahun-tahun awal rezim Suharto dengan komersialisasi cepat input pertanian yang dipicu oleh perusahaan multinasional dalam program Bimas Gotong Royong pada akhir 1960an. Negara membuat kontrak dengan perusahaan-perusahaan ini (membayar mereka sekitar US$ 50 per hektar) untuk menyediakan input ‘revolusi hijau’ yang diperlukan (varietas benih ‘ajaib’ IR baru, pupuk dan pestisida kimia, mesin penyemprot, dan ‘manajemen’) yang dilakukan oleh petani diharapkan bisa setimpal dengan hasil produksi yang tinggi. Maka (mengambil contoh lagi dari Krawang), yang tadinya pembayaran bawon 1/5, kini petani harus ‘membagi hasil panen’ menjadi enam bagian: satu untuk pengembalian kredit Bimas, satu untuk buruh panen dan empat bagian untuk petani (Tjondronegoro 1978).
Pembagian hasil panen untuk Bimas dan perusahaan multinasional tidak berjalan dengan lancar. Contoh menarik tentang bagaimana perusahaan mengalami frustasi dengan pengaturan pemanenan lokal bisa ditemui dalam laporan operasi perusahaan patungan Jepang-Indonesia PT Sumisho-Kapin di 10 desa di Krawang. Pada 1969/70, perusahaan hanya memperoleh kurang dari 50 persen ‘target pengumpulan’-nya, 1/5 dari total hasil; sementara kegagalan ini sebagian disebabkan karena petani menyembunyikan sekitar 1/3 hasil panennya yang harusnya masuk ke perusahaan, tapi mereka menyalahkan sistem pemanenan itu sendiri: dimana hampir seluruh kehilangan panen dianggap karena masih menggunakan sistem tradisional ani-ani (PT Sumisho-Kapin 1970). Sistem panen terbuka dengan ratusan buruh panen dalam satu lahan menyebabkan rantai kehilangan hasil yang tak terkendali (bulir yang jatuh dari malai ketika panen, kepala malai yang tidak ikut terpotong, kehilangan saat pemindahan hasil panen, atau kehilangan karena manipulasi buruh panen). Laporan merekomendasikan adanya intervensi pemerintah untuk membatasi jumlah buruh panen menjadi satu orang per 100 m2, penggunaan timbangan, dan penurunan pembagian bagi buruh panen dari 1/5 menjadi 1/6, dan menyimpulkan:
Jika tenaga penggerak sistem pemanenan ini didorong oleh tindakan dalam sistem pemerintahan (Pemerintah Pusat — Gubernur — Bupati — Camat –Lurah) dengan bantuan polisi dan tentara lokal, diharapkan bisa mencapai hasil yang bagus (PT Sumisho Kapin 1970).
Ketika program Bimas Gotong Rotong mulai berakhir pada 1970 (bukan karena masalah pemanenan tapi manajemen skala besar yang salah dan korupsi), negara mengambil alih kontrol terhadap program Bimas dan Inmas.
Tinjauan singkat ini menunjukkan bahwa satu-satunya ciri pemanenan padi yang relatif statis dan universal di Jawa pada awal 1970an adalah penggunaan teknologi tradisional ani-ani, sistem pembayaran buruh tani dengan hasil panen dibanding uang, dan prevalensi perempuan yang berkerja. Berbanding terbalik dengan ciri yang relatif statis, cara perekrutan buruh panen, pembayaran sangat beragam, fleksibel dan rentan, mulai dari tempat ke tempat dan seiring berjalannya waktu, sebagai respon terhadap perubahan dalam ekonomi skala besar dan lokal, perubahan jangka pendek dalam penyuplaian dan permintaan tenaga kerja: pembayaran bawon paling rendah 1/36, tetapi juga pernah tertinggi ¼ dan 1/3. Sulit menemukan bukti dari sistem bawon yang telah ditetapkan secara tradisional dan tidak lekang oleh waktu yang kemudian diasumsikan oleh penelitian yang telah berlaku.
Disarikan dari Ben White (2000): Rice harvesting and social change in Java, The Asia Pacific Journal of Anthropology, 1:1, 79–102.