Aspek Agroekologi dalam Sistem Pertanian Tradisional

Nawamharrun
7 min readMar 30, 2022

--

Terasiring padi di area Selatan pegunungan dan perbukitan China (GIAHS, flicrk.com)

Prinsip Agroekologi

Akar dari agroekologi mengacu pada ekologi pertanian tradisional yang masih terpelihara di banyak tempat di negara berkembang. Awal mula perkembangan sistem pertanian sekarang berasal dari sistem petani tradisional yang telah berkembang dan/atau diwariskan selama berabad-abad. Sistem pertanian tradisional yang kompleks ini telah beradaptasi dengan kondisi lokal dan berhasil membantu petani kecil dalam mengelola lingkungan secara berkelanjutan dan memenuhi kebutuhan subsistensi mereka tanpa bergantung pada mekanisasi, pupuk kimia, pestisida atau teknologi ilmu pertanian modern lainnya. Dibimbing oleh pengetahuan alam yang kompleks, petani tradisional tekun merawat pertanian skala kecil mereka yang beragam secara biologis dan genetik dalam menghadapi perubahan iklim yang cepat, serangan hama dan penyait, serta tantangan globalisasi, teknologi dan tren modern lainnya. Walaupun sekarang sistem ini sudah banyak ditinggalkan, berjuta hektar lahan pertanian yang diperlakukan secara tradisional seperti bedengan, terasiring, polikultur, agroforestri, integrasi padi-bebek-ikan, dan lainnya, telah membuktikan kesuksesan strategi pertanian tradisional dan kreativitas petani tradisional. Mikrokosmos ini mewariskan model pertanian baru yang menjanjikan karena mendukung keanekaragaman hayati, memutus ketergantungan terhadap input dari luar, dan mampu menjaga kestabilan produksi sepanjang tahun ditengah perubahan iklim yang tak menentu.

Beberapa ilmuwan barat mulai mengakui nilai-nilai tradisional dalam praktik pemanfaatan lahan dan peran pentingnya dalam mencegah perubahan iklim, serta konservasi air, pangan, dan energi untuk masyarakat. Banyak agroekologis berpendapat bahwa sistem pengetahuan tradisional mampu mendukung adaptasi yang cepat terhadap krisis yang kompleks dan penting serta menginspirasi model pertanian baru yang dibutuhkan oleh masyarakat di era degradasi ekosistem dan perubahan iklim yang cepat. Keutamaan agroekosistem tradisional adalah menyediakan sumber daya yang melimpah bagi agroekologis untuk memahami mekanisme kerja dalam agroekosistem yang beragam sebagai dasar penyusunan prinsip dasar desain agroekosistem yang baru.

Agroekologi menggabungkan sistem pengetahuan tradisional tentang tanah, tumbuhan, hewan, dan aspek lain yang terkait dengan disiplin ilmu ekologi dan pertanian modern. Integrasi unsur kearifan lokal dan elemen sains modern dan etnosains berhasil menunculkan prinsip agroekologi baru yang diterapkan dalam bentuk teknologi dan bergantung pada aspek sosio-ekonomi, budaya, dan lingkungan (Gambar 1). Agroekologi tidak menjabarkan hal teknis secara langsung tetapi lebih kepada perumusan prinsip, dimana pertanian bukanlah persoalan seberapa banyak input yang masuk melainkan sebuah proses untuk mencapai keseimbangan. Agar teknologi pertanian yang dihasilkan relevan dengan kebutuhan petani dan keadaan pertanian skala kecil, maka proses perumusannya wajib melalui partisipasi masyarakat dimana petani bersama peneliti bekerjasama dalam perumusan penelitian, pelaksanaan, dan evaluasi hasil percobaan lapangan.

Gambar 1. Prinsip Agroekologi (Rosset dan Altieri, 2017)

Sistem Pertanian Tradisional

Kebun mengapung di Bangladesh (GIAHS, flickr.com)

Sistem pertanian tradisional telah berevolusi selama berabad-abad dalam bentuk budaya yang terakumulasi sebagai pengalaman petani ketika berinteraksi dengan lingkungan walau tanpa adanya akses terhadap input eksternal, modal, dan pengetahuan saintifik. Dengan menggunakan insting dan intuisi, pengetahuan berdasarkan pengalaman, dan ketersediaan sumber daya lokal, petani mampu mengembangkan sistem budidaya pertanian yang beragam meliputi tanaman semusim, tahunan, dan ternak, yang memungkinkan mereka untuk memaksimalkan hasil panen walau dalam kondisi lingkungan yang marjinal, keterbatasan sumberdaya, dan lahan budidaya. Perkembangan sistem ini dipandu oleh pengetahuan berdasarkan observasi dan tindakan yang terlihat dalam pemilihan dan pemuliaan varietas benih lokal serta dalam pengujian metode budidaya baru untuk mengatasi kendala tertentu. Kebanyakan petani tradisional memiliki pengetahuan yang mendalam tentang kondisi lingkungan dan budaya mereka.

Terlepas dari beragamnya sistem pertanian tradisional, sejarah, dan geografis, sebagian besar agroekosistem tradisional mengandung enam aspek yang mirip antara lain:

  1. tingkat biodiversitas yang tinggi, dimana berperan penting dalam mengatur fungsi ekosistem dan menyediakan jasa ekosistem baik secara lokal maupun global,
  2. pengelolaan sumberdaya lanskap, tanah, dan air serta sistem konservasi yang digunakan untuk meningkatkan efisiensi dalam agroekosistem,
  3. sistem pertanian terdiversifikasi menyediakan berbagai macam produk untuk mendukung kedaulatan pangan baik lokal maupun nasional,
  4. agroekosistem memiliki ketahanan dan kekuatan untuk mengatasi gangguan dan perubahan (oleh manusia dan lingkungan),
  5. agroekosistem merawat sistem pengetahuan tradisional yang mencakup beragam inovasi dan teknologi petani, dan
  6. memiliki nilai budaya yang kuat dan bentuk kolektif organisasi sosial termasuk lembaga masyarakat untuk pengelolaan agroekologi, pengaturan pembagian sumber daya dan bagi hasil, ritual adat, dan lainnya.

Keragaman Genetik

Keragaman genetik tanaman pangan di pertanian Andean, Peru (GIAHS, flickr.com)

Di seluruh dunia, petani kecil memelihara tidak kurang dari dua juta varietas tanaman pangan dan sekitar 7000 ternak hasil persilangan dari 350 juta peternakan. Banyak agroekosistem tradisional yang memiliki tingkat keragaman tanaman pangan yang tinggi, sehingga memiliki populasi tanaman yang mampu beradaptasi dengan berbagai jenis tanah dan tanaman liar. Terkadang tingkat keragaman tanaman liar memiliki populasi lebih tinggi daripada tanaman pangan itu sendiri. Siklus hibridisasi dan introgesi alami seringkali terjadi antara tanaman pangan dan kerabat tanaman liarnya. sehingga meningkatkan variabilitas dan diversitas genetik benih yang tersedia bagi petani. Melalui praktek budidaya “tidak bersih”, banyak petani berhasil meningkatkan aliran gen antara tanaman pangan dan kerabatnya sehingga memunculkan fungsi tanaman lain sebagai pangan, pakan, dan pupuk hijau. Kehadiran tanaman ini dalam agroeksosistem tradisional menunjukkan domestikasi yang progresif.

Banyak petani yang menanam bermacam varietas tanaman pangan di lahan mereka dan seringkali saling menukarkan benihnya dengan sesama petani. Misalnya di Andes, petani membudidayakan 50 varietas kentang di lahan mereka. Sama halnya dengan Thailand dan Indonesia, petani memelihara varietas padi lokal mereka yang mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang beragam, dan mereka juga saling menukarkan benih satu sama lain. Keragaman genetik yang dihasilkan meningkatkan ketahanan tanaman terhadap penyakit dan cekaman biotik lainnya serta meningkatkan keragaman nutrisi yang tersedia untuk masyarakat. Peneliti menunjukkan bahwa penanaman tanaman yang memiliki keragaman genetik tinggi di lahan mampu menurunkan tingkat keparahan terhadap penyakit, dan metode ini telah banyak digunakan dalam pertanian komersil.

Keragaman Spesies Tanaman

Budidaya tradisional wasabi di Shizuoka, Jepang (GIAHS, flickr.com)

Aspek lainnya yang menonjol dalam sistem pertanian tradisional adalah tingkat keragaman tanaman dalam bentuk polikultur (juga dikenal sebagai tumpang sari atau tanaman pendamping) dan/atau pola agroforestri. Polikultur melibatkan keragaman sistem penanaman dalam ruang dan waktu sehingga memungkinkan budidaya dua atau lebih tanaman pangan secara bersamaan dalam satu lahan. Sistem tumpang sari yang telah lama diuji melibatkan campuran tanaman semusim dalam desain spasian dan temporal yang beragam. Umumnya tanaman ini meliputi jenis tanaman legum dan serealia, dimana mampu meningkatkan produktivitas tanaman daripada ditanam secara terpisah. Hal ini dikarenakan tanaman legum mampu mengikat nitrogen sehingga penggunaan sumberdaya hara mineral lebih efektif dan memberikan ketahanan terhadap hama. Agroforestri menggunakan campuran tanaman musiman dengan tahunan atau tahunan dengan ternak, dan seringkali memiliki lebih dari ratusan spesies tanaman musiman dan tahunan serta beberapa jenis ternak dalam satu lahan. Disamping menyediakan produk yang berguna (bahan konstruksi, kayu bakar, peralatan, obat, pakan ternak, dan pangan), tanaman tahunan juga menekan hilangnya nutrisi dan erosi tanah, serta menambah bahan organik dan mengembalikan nutrisi penting dengan cara memompanya dari lapisan tanah terbawah. Tanaman tahunan juga menyangga kondisi mikroiklim, melindungi tanaman dan tanah dari iklim yang ekstrim seperti badai dan kekeringan yang dipicu oleh perubahan iklim. Dalam sistem silvopastura multistrata (integrasi tahunan dan ternak), kehadiran tanaman tahunan jenis legum pengikat N mampu meningkatkan produksi padang rumput dan siklus nutrisi serta menurunkan kebutuhan terhadap pupuk kimia N. Tanaman tahunan memiliki akar yang dalam sehingga membantu pengembalian nutrisi dan air dari lapisan tanah terdalam, serta meningkatkan simpanan karbon di dalam dan di atas tanah. Tutupan tanaman tahunan juga menyediakan kondisi lingkungan yang baik, biomassa, nutrisi, dan naungan untuk ternak, mengurangi stres, dan meningkatkan produksi dan kondisi tubuh ternak tersebut. Dalam sistem polikultur, spesies tanaman tumbuh saling berdekatan sehingga terjadi interaksi saling menguntungkan diantara mereka dan tentunya menawarkan beragam jasa ekosistem bagi petani. Kelimpahan spesies yang tinggi mampu meningkatkan bahan organik tanah, memperbaiki struktur tanah, kapasitas penyimpanan air, penutupan tanah, melindungi tanah dari erosi, dan menekan pertumbuhan gulma. Keragaman tanaman juga meningkatkan keragaman artropoda dan aktivitas mikroorganisme yang terlibat dalam peningkatan siklus nutrisi, kesuburan tanah, dan pengelolaan hama penyakit. Studi menunjukkan bahwa lahan pertanian yang memiliki tingkat biodiversitas tinggi memiliki ketahanan terhadap perubahan iklim.

Integrasi dengan Ternak

Sistem budidaya padi-ikan-bebek di daerah Congjiang, China (GHIAS, flickr.com)

Di banyak daerah, sistem pertanian campuran tanaman pangan dengan ternak sudah menjadi ciri khas pertanian. Dalam sistem yang terintegrasi tersebut, ternak beradapatasi secara lokal dan mampu menyediakan tenaga untuk membajak tanah atau pupuk untuk menyuburkan tanah, dan tentunya sisa tanaman menjadi sumber pakan penting bagi ternak. Sumberdaya (sisa tanaman, kotoran ternak, tenaga dan modal), yang dihasilkan dari sistem tersebut mampu memberikan keuntungan bagi produksi tanaman dan ternak, sehingga membantu terbentuknya sistem pertanian yang efisien, produktif, dan berkelanjutan.

Di Asia, banyak petani padi yang mengintegrasikan beragam spesies ikan dan bebek dengan tanaman mereka. Ikan memangsa hama yang menyerang tanaman padi, memakan gulma yang menekan pertumbuhan padi, dan memangsa sumber penyakit hawar daun, sehingga menurunkan penggunaan pestisida. Sistem ini juga memungkinkan kejadian hama penyakit tanaman yang rendah dibandingkan dengan sistem pertanian padi monokultur. Selain itu, ikan juga berperan dalam menyediakan oksigen dalam air dan menggerakkan siklus nutrisi di sekitarnya, yang menguntungkan bagi padi. Tanaman azolla juga diintegrasikan dengan padi karena mampu mengikat nitrogen (243–402 kg/ha), dan sekitar 17–29 persen diserap oleh padi. Bebek mengonsumsi azola sebelum menutup permukaan lahan dan sebelum terjadi eutrofikasi, disamping itu bebek juga memangsa siput dan memakan gulma. Kesimpulannya, semakin kompleks dan beragam jaring makanan mikroba, serangga, predator dan tanaman pangan, mampu mendukung sejumlah jasa ekologi, sosial, dan ekonomi yang menguntungkan bagi petani dan masyarakat lokal.

Referensi
buku Rosset PM dan Altieri MA. 2017. Chapter 1: The principal of agroecology. Di dalam: Agroecology: Science and politics.UK: Practical Action Publishing. Hal. 8–13.

--

--

Nawamharrun
Nawamharrun

Written by Nawamharrun

Indigenous Ecological Knowledge

No responses yet