Respon Kebijakan Pangan Global dalam Krisis 70 Tahun Terakhir
Pengambilan kebijakan dalam krisis pangan 70 tahun terakhir telah mendorong munculnya sistem pangan global yang meletakkan dasar produksi dan spesialisasi berbasis industri serta perdagangan global secara progresif melalui rantai pasok pangan global yang didominasi oleh korporasi sektor privat besar. Peningkatan efisiensi telah menjadi tujuan dalam merumuskan kebijakan seperti efisiensi melalui metode produksi industri pada tahun 1960–70an; efisiensi melalui spesialisasi dan perdagangan pada 1980an dan 1990an; dan efisiensi melalui dominasi korporasi dalam rantai pasok pada 2000an. Ide ini telah lama diterapkan untuk memengaruhi efisiensi ekonomi agar keseimbangan akses pangan melalui tingginya produksi bisa tercapai, disatu sisi menjaga harga tetap rendah dan memacu pendapatan petani melalui spesialisasi dan perdagangan komersial. Keseimbangan ini tidaklah mudah untuk diterapkan, sebagaimana upaya memulihkan krisis dan isu kelaparan berkepanjangan. Hal ini juga menciptakan kerentanan ketika memprioritaskan produksi, spesialisasi berbasis industri dan perdangan serta hilangnya diversitas sistem pangan.
1960–70an: ketahanan produksi industri dalam skala global
Krisis pangan 1972–74 muncul selama periode dimana pemerintah global mendorong untuk terjadinya adopsi besar-besaran metode industri dalam produksi agrikultur, disamping itu pula dimulainya diseminasi teknologi Revolusi Hijau pada 1950–60an. Krisis pangan 1970an merupakan salah satu awal naiknya harga pangan yang fokus pada pasokan pangan global. Harga pangan pokok seperti gandum, jagung dan kedelai, melonjak tiga kali lipat antara 1971 dan 1975 (Allen 1976; Rothschild 1976). Alasan meroketnya harga pangan disebabkan antara lain buruknya cuaca di beberapa wilayah pusat pertanian, pembelian pangan dari pasar global dalam jumlah besar oleh Rusia, menurunnya pendampingan pangan di negara berkembang, dan naiknya harga minyak global hingga empat kali lipat seiring dengan meningkatnya seluruh harga komoditas lainnya. Meningkatnya harga pangan di era ini juga mendorong naiknya angka kelaparan di banyak negara Asia, Afrika dan Amerika Latin, dimana mereka sangat bergantung pada impor pangan setelah Perang Dunia ke-2. Bergantungnya negara tersebut terhadap impor terjadi setelah negara-negara yang produksi pertaniannya berlebih seperti AS, Kanada, Australia, dan Eropa, merumuskan program bantuan pangan yang menghendaki adanya impor pangan oleh negara miskin di seluruh dunia secara murah atau gratis (Friedmann 1982; Clapp 2012).
Dengan meroketnya harga pangan di awal 1970an, Pemerintah AS telah menurunkan bantuan pangannya hingga akhir 1960an, dengan harapan agar penerima bantuan pangan tersebut nantinya menjadi konsumen produk pangan AS. Pemerintah AS juga secara aktif mendorong penerima bantuan pangan untuk mengadopsi teknologi pertanian Revolusi Hijau melalui program bantuan pengembangan, mencari cara untuk memacu produksi domestik di negara penerima sebagai upaya untuk menurunkan ketergantungan mereka terhadap bantuan internasional. Di India misalnya, Pemerintah AS mengejar kebijakan jangka pendek yang mengondisikan pendampingan pangan pada adopsi teknik pertanian modern (Rothschild 1976).
Konferensi Pangan Global 1974, sebagai respons terhadap meningkatnya harga pangan pada waktu itu, lebih lanjut mendorong negara berkembang untuk meningkarkan produksi domestik mereka agar menjadi lebih mandiri pangan, disamping itu juga meminta bantuan negara industri untuk meningkatkan bantuan pangan mereka (O’Hagan 1975; Clapp 2017). Pendeknya, kebijakan ini mampu meningkatkan produksi dan distribusi pangan global. Dalam mendukung agenda tersebut, negara industri menyuntikkan program bantuan yang mempromosikan metode pertanian industri Revolusi Hijau di negara berkembang. Mereka juga meminta agar negara berkembang mengintensifikasikan produksi pertanian mereka dengan pandangan ketika surplus dapat diekspor ke pasar global (Butz 1976). Ketika puncak krisis pangan 1970an, misalnya, Sekretaris Pertanian AS, Earl Butz meminta petani untuk menanam tanaman pangan disela-sela pagar pembatas (fencerow to fencerow) dan mendorong adanya konsolidasi lahan dengan slogan “get big or get out” (Philpott 2008). Dampak dari penekanan produksi ini adalah tercapainya efisiensi. Seiring Butz meletakkan prinsipnya, sebetulnya dia tidak kontra dengan pertanian keluarga, dia hanya melawan model pertanian keluarga yang tidak efisien (Risser dan Anthan 1976). Penekanan produksionis ini mirip dengan upaya pemerintah secara masif di negara kaya dan miskin, walaupun model ini lebih menguntungkan firma agribisnis yang berada di negara industri yang menjual pupuk, benih dan pestisida sebagai paket pertanian industri, sebagaimana menguntungkan firma perdagangan agrikultur yang mengatur pergerakan pangan global (Clapp 2020).
1980an hingga awal 2000an: kemunculan dan penyebaran neoliberal serta prioritisasi perdagangan pangan global
Kebijakan produksionis di pertengahan hingga akhir 1970an secara langsung berkontribusi dalam krisis sistem pangan yang berbeda sepanjang tahun 1980an dan 1990an, dimana resiko mata pencaharian bidang agrikultur ditandai dengan rendahnya ketahanan dan jatuhnya harga komoditas pertanian. Krisis pertanian bisa dibilang menghantam baik negara kaya dan miskin. Seiring ekonomi global meluncur ke arah resesi dan harga komoditas jatuh di akhir 1970an, pengekspor komoditas pangan dari negara bagian selatan menyadari bahwasanya mereka terlilit hutang dari bank. Negara-negara ini ditekan oleh IMF dan Bank Dunia untuk mengambil pinjaman struktural, dimana membutuhkan perubahan kebijakan dalam pengembalian biaya pendukung (Lawson 2007). Dalam sektor agrikultur, perubahan kebijakan tersebut meliputi pembukaan pasar domestik terhadap perdagangan internasional, memotong subsidi pertanian dari pemerintah, dan devaluasi mata uang. Ide di balik pendekatan ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi sektor pertanian seperti produksi dan perdagangan agrikultur akan meningkat dan membantu pemulihan ekonomi (Berg 1982).
Walaupun ide ini digunakan untuk meningkatkan efisiensi di sektor agrikultur, reformasi pengaturan struktural secara efektif mengakhiri kebijakan pangan di era yang didominasi oleh kemandirian pangan (Moseley, Schnurr dan Kerr 2015). Dengan eliminasi subsidi untuk produsen pangan lokal dan reduksi tarif pangan impor, banyak negara menunjukkan penurunan produksi pangan lokal dan peningkatan impor pangan. MisalnyaCteôte d’Ivoire hampir mendekati swasembada dalam produksi beras pada 1976 tetapi di awal 1990an, produksi domestik hanya mencukupi setengah dari permintaan (Moseley, Carney, dan Becker 2010). Pola pergantian ini menyebar luas di Afrika dan Amerika Latin. Walau negara ini bukan subjek yang diperlukan dalam pengaturan struktural kebijakan, misalnya Botswana, menerapkan model neoliberal dalam keamanan pangan dan makin menjauhkan diri dari kedaulatan pangan. Hasilnya, sekarang Botswana mengimpor 90% pangan mereka, membayarnya dengan menukar devisa hasil ekspor berlian dan daging sapi, disamping juga ekoturisme yang makin marak (Moseley 2016). Model neoliberal dalam kemanan pangan bisa bekerja baik hanya jika harga pangan global rendah dan arus perdagangan berjalan dengan lambat.
Sistem pertanian di belahan Utara juga mengalami perubahan signifikan dalam periode ini. Petani di Amerika Utara menghadapi krisis pertanian pada tahun 1980an, periode ketika petani kapitalis merajalela, sebagai hasil dari peminjaman yang berat selama meledaknya tren pertanian pada 1960an dan awal 1970an, gagal secara massal ketika harga pangan menurun (Barnett 2002). Hasilnya adalah konsolidasi sektor pertanian yang serius berdasarkan hilangnya pertanian skala kecil, meningkatnya ukuran lahan, rendahnya margin, dan meningkatnya pertanian korporasi. Dengan menggandakan produksi dan efisiensi, sektor pertanian Amerika Utara yang dikonfigurasi ulang sekarang lebih ketergantungan pada perluasan pasar melalui ekspor dan pengolahan pascapanen baru meliputi sirup jagung tinggi fruktosa, ethanol dan pakan ternak (Pechlaner dan Otero 2010).
2007–2008: krisis harga pangan dan desakan untuk menginkorporasi petani skala kecil ke dalam rantai pasok global
Krisis harga pangan tahun 2007–08 dilandasi oleh peran sentral sektor privat dalam mengarahkan rantai pasok agrikultur berdasarkan spesialisasi, produksi pangan industri untuk pasar global. Disamping harga pangan global cenderung relatif rendah dan stabil sepanjang 1980an dan 1990an, harga pangan mulai naik dari awal 2000an. Kemudian di tahun 2007–2008, harga pangan global meningkat hingga rata-rata 50% dan 100% pada pangan pokok seperti beras (Headey dan Fan 2008). Harga pangan yang tinggi menjadi masalah bagi orang miskin di area perkotaan yang mengalokasikan sebagian besar pendapatannya hanya untuk membeli kebutuhan pangan (Berazneva dan Lee 2013). Tidak mengejutkan bila demonstrasi pangan bermunculan di seluruh dunia sebagai permintaan masyarakat agar pemerintah melakukan sesuatu untuk mengatasi krisis harga pangan tersebut (Berazneva dan Lee 2013). Krisis juga disebabkan oleh faktor lain seperti cuaca buruk, meningkatnya permintaan pangan tinggi protein, peralihan pangan untuk produksi biofuel, spekulasi finansial dalam komoditas agrikultur, meningkatnya harga energi, dan pembatasan perdagangan (Ghosh 2010; Wise dan Murphy 2012).
Respon global terpusat di Afrika, dimana meningkatnya kelaparan dihasilkan dari krisis yang berkepanjangan. Upaya tersebut meliputi Revolusi Hijau baru untuk Afrika (GR4A), sebuah inisiatif yang didasari pada pendekatan neo-produksionis (Giller et al. 2017). Walaupun GR4A secara teknis diluncurkan sebelum momen ini, krisis pangan 2007–08 memberikan urgensi baru (Schurman 2017). Hal ini memicu GRA4 menginterpretasikan krisis sebagai muncul dari ketidak efisiensi atau kegagalan dalam mengadopsi metode pertanian industri dan pembatasan perdagangan. Pendeknya, GR4A melihat ketahanan pertanian subsistensi sebagai masalah. GRA4 mencari cara untuk memacu produksi pangan di Afrika dengan efisiensi produksi yang lebih besar dan inkorporasi petani kecil Afrika lebih efektif lagi untuk mendukung rantai pasok pangan global. Mereka melakukannya melalui mengusahakan penggunaan benih hibrida dan input komersial, mengembangkan hubungan publik-privat, dan memberikan kepercayaan lebih pada kaum perempuan yang dianggap penting dalam sistem pangan Afrika (Toenniessen, Adesina dan Devries 2008; Gengenbach et al. 2018). GRA4 didukung oleh serangkaian inisiatif global meliputi Aliansi Revolusi Hijau di Afrika (AGRA), G8 Aliansi Baru Keamanan Pangan dan Nutrisi (NAFSN), dan Perserikatan Komprehensif Afrika Program Pengembangan Pertanian (CAADP), yang mempromosikan perjanjian dengan sektor privat sebagai bentuk paling efisien untuk menghubungkan petani Afrika skala kecil dengan rantai pasok global.
Tanpa mengesampingkan pemantik utama tingginya dan rentan menguapnya harga pangan selama krisis periode ini, fakta bahwa harga meningkat tajam ditengah ketakutan terhadap keterbatasan suplai dikarenakan perubahan iklim dan pertumbuhan populasi, menghasilkan peningkatan masif terhadap investasi finansial di berbagai sektor. Hal ini meliputi spekulatif kapital tipe baru dalam komoditas produk investasi (Ghosh 2010; Clapp dan Isakson 2018) dan di lahan pertanian seluruh dunia (Cotula et al. 2011; Magnan 2015; Fairbairn 2020). Dinamika ini mendorong harga pangan dan lahan pertanian meningkat lebih jauh sebagaimana terjadi dalam tren komoditas dan pembukaan lahan pertanian (Taddesse et al. 2014). Kebijakan yang menekan investasi sektor privat yang lebih besar menunjukkan upaya yang lebih luas terhadap tren ini, sebagaimana investor finansial privat melihat keuntungan dari sektor ini. Hasil dari kebijakan tersebut yakni pengambilan lahan secara paksa dan spekulasi modal kapital dalam produksi agrikultur, walaupun penggagasnya seringkali dianggap sebagai investasi yang dibutuhkan dalam melangkah ke arah produksi agrikultur modern (Lavers 2012). Korporasi agribisnis multinasional besar memperoleh keuntungan dari tingginya investasi finansial di sektor ini, meliputi besarnya perusahaan input, firma perdagangan komoditas global, dan firma pengolahan (Murphy, Burch, dan Clapp 2012; IPES Food 2017; Clapp 2020). Pola penanaman modal yang tinggi dalam sektor agri-pangan di saat awal bangkitnya krisis mendorong tumbuhnya pemutusan hubungan antara ekonomi finansial dengan ekonomi pertanian yang nyata (Van der Ploeg 2020), dikarekterisasi oleh tingginya konsentrasi korporasi di sektor ini (Clapp 2018). Tren ini menciptakan kerentanan baru bagi produsen pangan melalui konsolidasi kekuatan firma agribisnis multinasional, penggabungan model rantai pasok global berdasarkan produksi dan perdagangan komoditas, dan pelemahan kepemilikan hak atas tanah.
Keunikan alami krisis pangan di era pandemi COVID-19
Krisis pangan COVID-19 sangat berbeda dari krisis terdahulu. Hal ini tidak dicirikan oleh kenaikan harga pangan yang mendadak di pasar global ataupun ketakutan akan pendeknya pasok pangan global, sebagaimana kasus krisis pangan pada tahun 1972–74 dan 2007–08. Bukan juga karena rendahnya produk jangka panjang dan jatuhnya harga komoditas yang perlahan menekan mata pencaharian pertanian, yang terjadi di 1980an dan 1990an. Melainkan, kondisi pandemi yang mempengaruhi sistem pangan melalui beberapa persoalan saling berhubungan yang sulit diuraikan, seperti pada ilustrasi di bawah ini.
Pertama, adanya disrupsi utama terhadap pergerakan pangan melalui rantai pasok karena pembatasan akses wilayah dan pekerja yang sakit. Kedua, resesi global yang di picu oleh pandemi menyebabkan masifnya pemberhentian kerja, dimana mendorong peningkatan kelaparan dalam waktu yang sama. Ketiga, sejumlah faktor gabungan juga berkontribusi pada tingginya dinamika harga pangan baik skala lokal maupun global yang memicu adanya kelaparan di banyak tempat. Dinamika ini memicu pukulan telak yang mempengaruhi keamanan pangan dan nutrisi, mempengaruhi akses masyarakat terhadap pangan yang cukup dan bernutrisi, dan meletakkan mata pencaharian pertanian dalam resiko yang tinggi. Krisis 2020 sangatlah kompleks. Hal ini mempengaruhi produsen pangan dalam berbagai jalan yang berbeda. Konsumen juga menghadapi beragam dampak dalam akses pangan baik itu masyakarat desa maupun perkotaan. Dampak asimetrik krisis ini membuat sulitnya menemukan efek keseluruhan terhadap keamanan dan sistem pangan. Namun, hal ini masih bisa dimungkinkan menelusuri kontur luas terkait efeknya dan melihat bagaimana krisis ini mendisrupsi suplai pangan, merobohkan pendapatan, meningkatkan harga pangan di lokasi tertentu, menaikkan tingkat keamanan pangan, dan meningkatnya ancaman sistem pencaharian pangan bagi kebanyakan orang.
Respon kebijakan dalam menghadapi krisis selama 70 tahun terakhir telah dideskripsikan di atas mempengaruhi sistem pangan dalam banyak cara yang membuat mereka rentan terhadap krisis pangan akibat pandemi COVID-19. Dorongan untuk memberlakukan efisiensi melalui produksi, spesialisasi dan perdagangan industri melalui korporasi privat selama periode sebelumnya, memainkan peran penting dalam membentuk dan meningkatkan kerentanan serius dalam kompleksitas rantai pasok pangan global. Walaupun pandemi dan dampaknya terhadap sistem pangan tidak dapat diduga, paling tidak pemaknaan waktu dan efek yang beresiko, dalam kebanyakan prediksi bahwa pandemi mungkin akan muncul dalam point tertentu, dimana model produksi dengan harga murah dan pangan yang melimpah dengan metode industri dan spesialisasi tinggi untuk menyediakan pasar global, mengalami resiko. Negara bagian Selatan berusaha turut serta dalam sistem tersebut melalui pendampingan asing, peminjaman terkondisi, dan investasi sektor privat. Mereka juga menjanjikan adanya penghargaan bagi efisiensi produksi dan pendapatan yang tinggi jika mereka turut berpatisipasi. Namun, negara yang mengadopsi pendekatan ini untuk mengorganisir sistem pangan mereka, kebanyakan dilaporkan malah mendapatkan pukulan telak oleh krisis pangan akibat COVID-19.
Artikel disarikan dari Jennifer Clapp & William G. Moseley (2020) This food crisis is different: COVID-19 and the fragility of the neoliberal food security order, The Journal of Peasant Studies, 47:7, 1393–1417, DOI: 10.1080/03066150.2020.1823838