Industri Pertanian: Penurunan Ekosistem dan Kesehatan Manusia

Nawamharrun
9 min readOct 24, 2020

--

Photo by Heiko Janowski on Unsplash

Terlepas dari pengetahuan akan nilai dari biodiversitas dan jasa ekosistem terhadap kualitas kehidupan manusia, perkembangan teknologi yang tak terkendali, pertumbuhan ekonomi dan konsumsi berlebihan terus berlanjut hingga akhirnya pandemi COVID-19 mengungkap kerapuhan sosial-ekologi kapitalis global. Momen keruntuhan ekosistem dan ekonomi akibat pandemi ini akan terus mendorong perubahan signifikan pada pola konsumsi di masyarakat global.

Ekspansi cepat pertanian dan disrupsi ekosisitem alam, dihubungkan dengan mekanisasi spesifik, teknologi genetik dan agrokimia telah menjadi daya utama pembentukan ulang ekosistem di bumi.

Dominasi monokultur telah merampas 80% dari 1.5 milyar hektar lahan produktif dunia dan mengakibatkan isu lingkungan terbesar dalam sejarah umat manusia meliputi degradasi tanah, deforestasi, penurunan sumber air bersih dan kontaminasi kimia serta peningkatan emisi gas rumah kaca.

Diperkirakan produksi pangan hari ini bertanggung jawab terhadap lebih dari 29% emisi gas rumah kaca yang terlepas ke atmosfer bumi (Campbell et al. 2017). Hal ini bertentangan dengan teknologi yang didesain untuk memperbaiki kualitas hidup yang justru membuat tempat tinggal di bumi tidak lagi ramah bagi manusia.

Jauh sebelum pandemi COVID-19, kultur industri pertanian telah menunjukkan ketidakberpihakkan terhadap ekosistem melalui penggunaan sumber daya luar yang tinggi dan kerentanan komoditas pangan terhadap hama serangga, penyakit dan iklim makro (Altieri et al. 2015). Industri pertanian menjadi sangat rentan selama pandemi dan hanya menunggu waktu hingga terjadi krisis pangan. Tak dapat dipungkiri, COVID-19 mengajarkan kita bahwa kehidupan manusia sejatinya sangat bergantung terhadap kesehatan spesies makhluk hidup lain dan ekosistem di muka bumi.

Dalam masa pandemi, agroekologi dapat menjadi alat yang kuat untuk memahami bahwa praktek pertanian yang selama ini dijalankan semenjak beberapa dekade pendeklarasian revolusi hijau, bisa lebih baik lagi bagi kesehatan manusia dan lingkungan. Agroekologi berlandaskan prinsip bagaimana mendesain dan memanajemen sistem pertanian terbaik, bisa berdiri tegak dalam menghadapi krisis kedepannnya baik itu dari ledakan hama penyakit tumbuhan, pandemi, perubahan iklim, maupun resesi ekonomi global.

Agroekologi menawarkan sistem untuk menyelesaikan tantangan di masa depan yang berkaitan dengan gangguan ekosistem seperti pandemi COVID-19, melalui pengayaan biodiversitas dan tingkat resilien yang meningkat seiring dengan upaya menurunkan resiko perubahan iklim dan ancaman lainnya, serta tetap menjaga kualitas dan kuantitas hasil produksi pangan yang berpihak pada jasa ekosistem dan kesehatan masyarakat (Nicholls et al. 2016).

Kembali ke industri pertanian, ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan terkait dampaknya terhadap ekosistem dan kesehatan manusia antar lain sebagai berikut:

Photo by Zoe Schaeffer on Unsplash

Produksi pangan berskala besar

Banyak sekali patogen mematikan yang muncul akibat cara kita dalam memproduksi pangan seperti H5N1-Asian Avian Influenza, H5N2, multi variasi Swine Flu (H1N1, H1N2), Ebola, Campylobacter, Nipah virus, Q fever, hepatitis E, Salmonella enteritidis, penyakit mulut dan kaki, dan berbagai jenis influenza lainnya (Weiss 2013). Sebagian besar penyakit tersebut dikaitkan dengan produksi ternak berskala besar, diketahui membuka peluang penyebaran dan mutasi virus patogen. Pratek industri peternakan yang mana seluruh ternak secara genetik seragam, tidak hanya mengakibatkan kerentanan hewan ternak terhadap infeksi penyakit, tapi juga mendorong patogen untuk berevolusi menjadi lebih menular.

Misalnya pada peternakan ayam broiler, secara genetik mereka diseragamkan dan memiliki pertumbuhan tiga kali lebih cepat dari setengah pakan yang diberikan dibanding kerabat alami mereka. Namun, tingkat produktivitas ini harus dibayar mahal dengan penurunan sistem imun (Wallace 2016).

Alhasil, penggunaan antibiotik secara masif untuk menunjang produktivitas telah memberi dampak serius terhadap munculnya penyakit dari patogen yang lebih resisten terhadap antibiotik.

Hingga akhirnya manusia sebagai konsumen tertinggi juga menerima dampak buruk antibiotik dengan laporan semakin banyak kematian yang diakibatkan oleh infeksi patogen resisten seperti Escherichia coli, Klebsiella, dan Staphylococcus aureus (CDC 2013).

Penyeragaman penanaman komoditas pangan (monokultur) juga memberi dampak serius terhadap ekosistem dan kesehatan manusia. Produksi kedelai di Amerika Selatan kini telah mengambil lebih dari 57 juta hektar lahan yang sebelumnya hutan alami sehingga mengakibatkan ekspansi langsung kapital secara luas dan intensifikasi agrokimia yang mendorong perubahan lahan menjadi tandus dan marginal. Deforestasi memicu proses perpindahan/penyebaran patogen dari habitat alaminya menuju ke ternak dan komunitas masyarakat. Jadi, peningkatan interaksi manusia dengan alam liar justru memperburuk resiko destruksi habitat akibat komersialisasi pertanian (Robbins 2012).

Fragmentasi lahan akibat monokultur besar juga menurunkan jasa ekosistem seperti gangguan kelimpahan dan keberagaman musuh alami sebagai aspek dalam pengendalian biologi. Komoditas jagung dan kedelai monokultur yang diperuntukkan bagi bahan bakar dan pakan memiliki tingkat diversitas rendah sehingga tingkat musuh alami di dalamnya juga menurun hingga 24%. Penurunan ini mengakibatkan kenaikan penggunaan pestisida kimia sintetik tiap tahunnya (Landis et al. 2008).

Photo by Jonathan Brinkhorst on Unsplash

Penyederhanaan diversitas pertanian

Konsekuensi lain akibat intensifikasi pertanian adalah penurunan keragaman pangan dalam agrolanskap. Disisi lain, fakta bahwa manusia sebagai spesies omnivora bisa memakan lebih dari 2500 jenis tanaman yang berbeda, justru sekarang hanya terbatas pada tiga komoditas pangan dominan yakni gandum, beras dan jagung, yang mana menyediakan 50% kebutuhan kalori per hari secara global (UNCSN 2020). Desakan dari sistem korporasi pangan global dan kesepakatan perdagangan bebas mendesak negara berkembang dunia ketiga untuk beralih dari menanam komoditas pangan tradisional yang beragam ke komoditas pangan modern yang tinggi proses pengolahan, padat energi dan rendah mikronutrien. Akibatnya, penyakit kronis yang berkaitan dengan pola konsumsi seperti diabetes, obesitas, dan penyakit jantung tidak dapat dihindari (Popkin, Adair dan Ng 2012).

Fakta bahwa hanya sedikit komoditas pangan yang dijadikan sumber pangan utama dalam pola konsumsi masyarakat telah mendorong pertanyaan apakah mampu diandalkan dalam menciptakan ketahanan pangan global?, padahal kunci utama resiliensi pangan dalam menghadapi ancaman perubahan iklim justru terletak pada keragaman pangan. Hilangnya keragaman pangan dan homogenisasi pangan bisa menjadi konsekuensi utama dalam upaya mewujudkan sistem pangan yang tidak hanya berkelanjutan tapi juga resilien (Jackson, Pascual, dan Hodgkin 2007).

Suplai pangan di Amerika Serikat didominasi oleh perjagungan bukan sebagai sumber pangan langsung melainkan diolah terlebih dahulu dan dijadikan sebagai sumber pakan bagi hewan ternak. Sebagian besar ternak ayam, sapi, dan babi didukung oleh komoditas pakan dari jagung. Olahan jagung kebanyakan menjadi minuman berkarbonasi dan cemilan tinggi gula-kalori yang memicu peningkatan penyakit obesitas dan diabetes tipe 2 (Pollan 2002). Di negara berkembang, modernisasi pertanian mendorong hilangnya ketahanan pangan yang berkaitan dengan disrupsi komunitas tradisional di pedesaan dan tentunya mengganggu sistem pangan tradisional mereka. Pergantian varietas tradisional dengan varietas yang memiliki produktivitas tinggi (hibrida) melalui Revolusi Hijau, justru tidak hanya mengakibatkan penurunan spesies komoditas pangan melainkan juga perlahan menghilangkan varietas pangan indigenus/asli yang lebih adaptif terhadap lingkungan dan toleran terhadap kondisi perubahan iklim (Mai-khuri et al. 1999).

Di Indonesia, terdapat 2087 jenis padi lokal yang telah tercatat mulai tahun 1913 yakni 63 jenis padi jero (umur 105 hari atau lebih), 2 jenis padi penengah (umur 95–105 hari) dan 35 jenis padi genjah (umur 75–95 hari) (Shindunata 2008). Namun setelah revolusi hijau hingga sekarang, hanya ada belasan varietas padi yang dianggap unggul yang banyak di tanam di lahan persawahan. Varietas padi lokal makin hilang ketika gencarnya importasi benih padi hibrida unggul dari daratan China, Vietnam dan Thailand.

Diversitas komoditas pangan harusnya menjadi kunci dalam meningkatkan ketahanan pangan karena selain beragam, juga mengandung vitamin dan mineral esensial penting bagi manusia. Jika pola pertanian kita masih memegang sistem monokultur tiga komoditas pangan dominan (gandum, beras, jagung) mungkin saja akan berdampak lebih buruk dalam ketahanan pangan baik dari segi rendahnya nutrisi maupun kesehatan masyarakat kelas bawah.

Photo by Ibadah Mimpi on Unsplash

Intensifikasi Agrokimia

Sekitar 80% dari 1.5 milyar lahan pertanian global telah menerapkan industri pertanian secara monokultur. Dengan rendahnya diversitas ekosistem dan homogenitas genetik, pertanian monokultur semakin rentan terhadap berbagai cekaman lingkungan seperti infestasi gulma, invasi hama serangga, dan epidemi penyakit serta perubahan iklim. Sejak pendeklarasian Revolusi Hijau 40 tahun yang lalu, lebih dari 2.3 milyar kg pestisida telah digunakan secara global tiap tahunnya, padahal kurang dari 1% yang berdampak langsung ke target secara spesifik, sisanya berakhir menjadi residu di tanah, udara, dan air yang mengakibatkan setidaknya kerugian serta kerusakan lingkungan dan kesehatan masyarakat sebesar 10 milyar US$ seperti keracunan pestisida yang dialami oleh 26 juta manusia tiap tahunnya (Pimental et al. 1980).

Terdapat eksperime substansial dan kejadian epidemi yang menunjukkan bahwa penggunaan pestisida secara global di seluruh dunia memicu adanya imunosupresif (Repetto dan Baliga 1996). Banyak studi yang mengindikasikan bahwa paparan pestisida bisa menimbulkan efek gangguan pada kesehatan manusia baik secara transien maupun permanen pada sistem imun tubuh (Nicolopoulou-Stamati et al. 2016). Ada hubungan antara pestisida sebagai penginduksi gangguan imun dan peningkatan penyakit yang berasosiasi dengan gangguan respon imun (Corsini et al. 2008). Hal ini menimbulkan potensi resiko kesehatan lebih buruk dalam populasi masyarakat jika terpapar oleh penyakit infeksius lainnya seperti COVID-19.

Di Amerika Serikat, penyakit kronis seperti obesitas, diabetes, penyakit ginjal dan hati, penyakit kardiovaskuler, penyakit pernapasan seperti asma, alergi, emphysema, dan penyakit paru kronik obstruktif (PPKO) perlahan meningkat dalam kurun waktu 50 tahun terakhir, dan berkaitan dengan peningkatan penggunaan pestisida, plastik dan bahan kimia lainnya (Corsini et al. 2008). Semua penyakit ini melibatkan gangguan sistem fungsi imun tubuh, menghasilkan inflamasi. Peradangan kronis memicu tubuh untuk bereaksi lebih cepat terhadap gangguan sistem imun tubuh seperti infeksi COVID-19 (Vom Saal dan Chen 2020).

Pestisida DDT (Dichlorodiphenyltrichloroethane), kemudian organophosphate, carbamates, dan sekarang neonicotinoid, telah dihubungkan dengan penurunan beberapa spesies kunci seperti polinator, musuh alami serangga, serta penurunan sebesar 58% kupu-kupu dan kumbang non target di lahan tanam, dan juga biota tanah lainnya, yang turut berkontribusi dalam jasa ekosistem pertanian.

Hilangnya agrobiodiversitas bisa mengakibatkan kerugian hingga ratusan dolar AS tiap tahunnya. Pengendalian menggunakan musuh alami diperkirakan senilai 100 milyar dolar AS, peran biota tanah dalam meningkatkan kesuburan senilai 25 milyar dolar AS, dan nilai tanaman pangan yang bergantung pada polinator mencapai 15 milyar dolar AS (Constanza et al. 2014).

Munculnya 586 spesies serangga dan tungau yang resisten terhadap 325 jenis insektisida dan sekitar 195 spesies gulma yang resisten terhadap 19 jenis herbisida, ditambah dengan kasus ledakan hama penyakit sekunder yang terjadi pada lahan dengan penggunaan pestisida secara intensif (Brattsten et al. 1986).

Hal ini tentunya menjadi sebuah releksi bagi kita semua untuk lebih bijaksana dalam mengelola pertanian agar tercapai ketahanan pangan yang berjalan selaras dengan bagi kelangsungan hidup umat manusia.

Referensi

Altieri, M. A., C. I. Nicholls, A. Henao, and M. A. Lana. 2015. “Agroecology and the Design of Climate Change-Resilient Farming Systems.” Agronomy for Sustainable Development 35: 869–890.

Altieri MA, Nicholls CI. 2020. Agroecology and the reconstruction of post-COVID-19 agriculture. The Journal of Peasant Studies.

Brattsten, L. B., C. W. Hoyloke, J. R. Leeper, and K. F. Raffa. 1986. “Insecticide Resistance: Challenge to Pest Management and Basic Research.” Science 231: 1255–1260. doi:10.1126/science.231.4743.1255.

Campbell, B. M., D. J. Beare, E. M. Bennett, J. M. Hall-Spencer, J. S. I. Ingram, F. Jaramillo, R. Ortiz, N. Ramankutty, J. A. Sayer, and D. Shindell. 2017. “Agriculture Production as a Major Driver of the Earth System Exceeding Planetary Boundaries.” Ecology and Society 22 (4): 8. doi:10.5751/ES-
09595–220408.

CDC (U.S. Centers for Disease Control and Prevention). 2013. “Antibiotic Resistance from the Farm to the Table’. http://www.cdc.gov/foodsafety/challenges/from-farm-to table.html (accessed May 17,2016).

Constanza, R., R. de Groot, P. Sutton, S. van der Ploeg, S. J. Anderson, I. Kubiszewski, S. Faber, and K. Turner. 2014. “Changes in the Global Value of Ecosystem Services.” Global Environmental Change 26: 125–156. doi:10.1016/j.gloenvcha.2014.04.002.

Corsini, E., J. Liesivuori, T. Vergieva, H. Van Loveren, and C. Colosio. 2008. “Effects of Pesticide Exposure on the Human Immune System.” Human & Experimental Toxicology 27 (9): 671–680. doi:10.1177/0960327108094509.

Jackson, L. E., U. Pascual, and T. Hodgkin. 2007. “Utilizing and Conserving Agrobiodiversity in Agricultural Landscapes.” Agriculture, Ecosystems & Environment 121: 196–210.

Landis, D. A., M. M. Gardiner, W. van der Werf, and S. M. Swinton. 2008. “Increasing Corn for Biofuel Production Reduces Biocontrol Services in Agricultural Landscapes.” Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America 105: 20552–20557.

Maikhuri, R. K., K. S. Rao, K. G. Saxena, and R. L. Semwal. 1999. “Traditional Crop-Diversity Based Nutrition & the Prospects for Sustainable Rural Development in the Central Himalaya.” Himalayan Paryavaran 6: 36–42.

Nicolopoulou-Stamati, P., S. Maipas, C. Kotampasi, P. Stamatis, and L. Hens. 2016. “Chemical Pesticides and Human Health: The Urgent Need for a New Concept in Agriculture.” Frontiers in Public Health 2016 (4): 148. doi:10.3389/fpubh.2016.00148.

Nicholls, C. I., M. A. Altieri, and L. Vazquez. 2016. “Principles for the Conversion and Redesign of Farming Systems.” Journal of Ecology and Ecography S5: 10. doi:10.4127/2157–7265-S5–010.

Pimentel, D., D. Andow, R. Dyson Hudson, D. Gallahan, S. Jacobson, M. Irish, S. Kroop, et al. 1980. “Environmental and Social Costs of Pesticides: a Preliminary Assessment.” Oikos 34: 127–140.

Pollan, M. 2002. When a Crop Becomes King. https://michaelpollan.com/articles-archive/when-a-cropbecomes-king/.

Popkin, B. M., L. S. Adair, and Shu Wen Ng. 2012. “Now and Then: The Global Nutrition Transition: The Pandemic of Obesity in Developing Countries.” Nutrition Review 70 (1): 3–21. doi:10.1111/j.1753–4887.2011.00456.x.

Repetto, R., and S. S. Baliga. 1996. “Pesticides and Immunosuppression: The Risks to Public Health.” Health Policy and Planning 12: 97–106.

Robbins, J. 2012. The Ecology of Disease. https://www.nytimes.com/2012/07/15/sunday-review/theecology-ofdisease.html?fbclid=IwAR3_IcCnCXGDI26RV7_MfchXusL7TfK3o3dE1kdHvw69YSUOThG426sNykg.

Sindhunata, 2008. Ana Dina Ana Upa (Pranata Mangsa). Bentara Budaya, Yogyakarta. 162 hal.

UNCSN. 2020. The COVID-19 Pandemic Is Disrupting People’s Food Environments. https://www.unscn.org/en/news-events/recent-news?idnews=2039.

Vom Saal, F., and A. Chen. 2020. How Toxic Chemicals Contribute to COVID-19 Deaths. https://www. ehn.org/toxic-chemicals-coronavirus-2645713170.html.

Wallace, R. 2016. Big Farms Make Big Flu: Dispatches on Infectious Disease, Agribusiness, and the Nature of Science. New York: NYU Press.

Weiss, T. 2013. The Ecological Hoofprint: The Global Burden of Industrial Livestock. London: Zed Books.

--

--

Nawamharrun
Nawamharrun

Written by Nawamharrun

Indigenous Ecological Knowledge

No responses yet