Pertanian 4.0 adalah Pelanggengan Sentralisasi dan Monopoli Pangan
Masuknya raksasa teknologi dan distribusi global seperti Microsoft dan Amazon ke dalam sektor pangan nampaknya memberikan dampak serius bagi petani kecil dan sistem pangan lokal. Hal ini mendorong terjadinya sentralisasi produk pendukung (pestisida, pupuk, drone, traktor, dll), penggelembungan aliran data ke dalam satu platform dan akses tak terbatas pada perilaku konsumen. Dari sisi input, agribisnis berkedok konsultan pertanian digital secara tidak langsung memaksa petani menggunakan aplikasi digital mereka melalui smartphone agar memperoleh akumulasi data terkait proses budidaya pertanian. Dari sisi output, perusahaan e-platform besar bisa dengan mudah memperoleh suplai produk pertanian segar dan tentunya mengambil alih rantai distribusi pangan. Secara bersamaan, model agribisnis digital menghendaki petani untuk mengikuti SOP yang ditetapkan oleh perusahaan mulai dari benih yang digunakan, pupuk hingga pestisida bahkan alat pertanian agar produknya bisa terus diserap oleh perusahaan tersebut. Pendekatan ini juga bisa dibilang mengarah ke dalam praktek sentralisasi, konsentrasi dan keseragaman serta penyalahgunaan kekuasaan yang berujung pada monopolisasi.
Pemanenan Data
Dalam dunia teknologi digital, kekuatan ditentukan oleh data — kapasitas dalam mengumpulkan dan memproses data dalam jumlah masif. Sama halnya dengan sektor ekonomi lainnya, perusahaan besar — perusahaan teknologi, penyedia telekomunikasi, rantai ritel, perusahaan makanan, agribisnis, atau bank — bersaing ketat dalam mengumpulkan data sebanyak-banyaknya dari seluruh titik dalam sistem pangan, dan menemukan cara untuk menghasilkan keuntungan dari data tersebut. Upaya tersebut semakin terintegrasi dan terhubung melalui skema kemitraan, penggabungan, dan pengambil-alihan perusahaan yang menciptakan peluang baru bagi perusahaan agar bisa menguasai sistem pangan.
Sejauh ini, pemain terbesar dalam teknologi global adalah Big Tech (Microsoft, Amazon, Alibaba dll). Mereka baru terjun ke dalam pertanian tetapi sudah berinvestasi dalam jumlah besar, terutama dalam platform informasi digital yang terhubung dengan cloud services. Microsoft, misalnya, telah membangun platform pertanian digital yang dinamakan Azure FarmBeats yang beroperasi melalui perusahaan teknologi raksasa, Azure. Platform ini didesain untuk menyediakan data secara langsung seperti analisis kondisi air dan tanah, pertumbuhan tanaman, hama dan penyakit, perkiraan cuaca dan perubahan iklim bagi petani. Nilai informasi dan saran yang diberikan ditentukan oleh volume dan kualitas data yang didapatkan yang kemudian analisis melalui algoritma tertentu. Hal ini menjadi alasan mengapa Microsoft bekerjasama dengan perusahaan pengembang drone dan peralatan sensor untuk pertanian agar bisa menerima lebih banyak data yang ditransmisikan dari FarmBeats melalui traktor berteknologi tinggi, drone penyemprot pestisida, dan mesin lainnya yang terhubung langsung dengan komputasi awan Azure.
Perusahaan agribisnis, terutama yang menjual benih, pestisida, dan pupuk, juga mulai menjalin kerjasama dengan beberapa Big Tech tersebut. Seluruh pemain agribisnis besar memiliki aplikasi yang diklaim memiliki data dari berjuta hektar lahan pertanian global, dimana mengendalikan petani agar mau menyuplai mereka dengan data sebagai imbalan untuk saran dan diskon produk mereka. Bayer, perusahaan benih dan pestisida terbesar di dunia, diperkirakan telah memiliki data dari 24 juta hektar lahan pertanian di AS, Kanada, Brazil, Eropa, dan Argentina.
Bayer, sama halnya dengan perusahaan agribisnis lainnya, harus menyewa infrastruktur digital untuk menjalankan aplikasinya melalui Amazon Web Service (AWS). Hal ini tentunya memberikan keuntungan besar bagi perusahaan agribisnis, tidak hanya dalam jumlah data yang diakses, tapi juga kapasitas untuk menganalisis data dan memperoleh keuntungan dari data tersebut. Dari sini kita menyadari bahwa, perusahaan penyedia produk pendukung bagi petani (pestisida, traktor, drone, dll), juga memperoleh data dari petani melalui aplikasi yang mereka gunakan, dengan kata lain, petani kecil sebagai penyedia pangan global, lagi-lagi menjadi objek untuk meraup keuntungan segelintir kelompok.
Pembagian digital
Faktanya 90% pangan global dihasilkan dari sektor pertanian skala kecil bukan industri pertanian. Aplikasi teknologi tinggi seperti traktor swakemudi dan drone penyemprot pestisida tidak dikembangkan untuk petani kecil melainkan pertanian industri seperti perkebunan komoditas tahunan. Kualitas informasi yang disediakan oleh platform digital untuk petani juga dipengaruhi oleh jumlah data yang diperoleh (uji tanah reguler, studi lapang, pengukuran di lahan, dll). Data tersebut dianggap baik jika data yang diperoleh dalam jumlah besar tetapi buruk jika sedikit data lapang yang diperoleh. Data yang baik ini nantinya akan dianalisis dan diproses oleh algoritma tertentu dan hasilnya adalah sebuah saran untuk petani melalui aplikasi seperti anjuran menggunakan pupuk, pestisida, dan kapan waktu panen. Selain itu, proses ini juga berbeda jika petani melakukan teknik monokultur ataupun polikultur karena tentu akan mempengaruhi jenis pengumpulan data dan hasil analisisnya.
Petani kecil sebagian besar terletak di wilayah yang minim infrastruktur telekomunikasi dan mengalami kesulitan dalam mengumpulkan data lapang. Kalaupun terpaksa, petani akan mengeluarkan biaya yang lebih besar hanya untuk mengaplikasikan teknologi tersebut di lahan mereka, jika dibandingkan dengan agribisnis besar. Hasilnya, rekomendasi yang diberikan oleh perusahaan penyedia jasa pertanian digital akan sangat rendah kualitasnya karena minimnya data yang diperoleh dan diproses. Jika petani menerapkan sistem agroekologi dan tanaman yang beragam, tentunya saran dari aplikasi tersebut menjadi tidak berguna. Walaupun demikian, perusahaan agribisnis digital tetap bisa meraup keuntungan melalui aplikasi yang didalamnya terdapat beragam diskon pembelian produk pendukung pertanian dan disisi lain tetap memperoleh pasokan komoditas pangan dari petani baik yang menggunakan aplikasi ataupun tidak.
Membuat pertanian digital yang berpihak pada masyarakat
Siapa yang berani menyalahkan petani karena menggunakan aplikasi digital yang membantu mereka mengetahui kondisi tanah dan kesehatan tanaman? Atau jasa yang menyediakan akses langsung ke pasar dan konsumen untuk menjual produk mereka? Masalahnya adalah, siapa yang mengendalikan data tersebut dan siapa yang memberikan saran melalui aplikasi tersebut? Ini pertanyaan pertama tentang seberapa aman sistem ini bagi konsumen dan bagaimana data yang terinput tidak disalahgunakan oleh penyedia jasa.
Lebih dari dekade lalu, sejumlah jaringan ‘petani untuk petani’ muncul di berbagai belahan dunia untuk saling berbagi informasi dan pengalaman, kebanyakan dari mereka menggunakan akses digital untuk saling berkomunikasi. Contohnya sekarang, banyak petani yang melek teknologi telah menggunakan akses digital untuk memasarkan produk mereka ke konsumen secara langsung ketika krisis COVID-19 memaksa pembatasan akses terhadap pasar. Di banyak tempat di dunia, petani mulai mengandalkan media sosial untuk mengunggah produk mereka dan menjalin hubungan dengan calon pembeli.
Di Brazil, dimana terjadi penutupan pasar dan supermarket akibat pandemi, mendorong kemunculan gerakan petani kecil (Movimento de Pequenos Agricultores, MPA) yang mengorganisisr sistem distribusi pangan menggunakan jasa taksi online kepada konsumen. Sistem ini diorganisir oleh 40 petani kecil secara digital menggunakan aplikasi WhatsApp dan laman online dengan beragam pilihan menu tiap pekannya. Sistem tersebut diberi nama “infobasket” dan telah mencapai 300 pesanan tiap pekannya, terutama untuk pangan segar mencapai 3000 konsumen di wilayah Rio de Janeiro dan sekitarnya.
Walaupun sistem tersebut bersifat lokal dan layak untuk didukung penuh oleh konsumen, tetapi kekhawatiran juga muncul apakah sistem tersebut mampu bertahan dalam persaingan dengan perusahaan agribisnis besar yang menjadikan industri agrikultur sebagai sistem modelnya? Kita telah mengetahui bahwa petani kecil dipaksa untuk menggunakan input kimia dan mesin yang mahal yang kemudian hasil produknya mau tidak mau disalurkan kepada pembeli perusahaan bukan pasar lokal. Mereka, perusahaan agribisnis besar membenarkan sentralisasi, konsentrasi dan keseragaman, dan cenderung menyalahgunakan kekuasaan serta monopolisasi pangan. Mereka telah menyetir konsumen ke dalam berbagai macam krisis yang mempengaruhi sistem pangan global.
Pengambil-alihan pertanian digital oleh perusahaan harus ditentang. Produsen pangan (petani, nelayan, pedagang kecil, pedagang kaki lima, dan pekerja buruh lainnya) harus bergerak bersama untuk memutus kekuatan perusahaan besar yang mengendalikan pangan, tentunya berdasarkan demokrasi dan partisipasi mumum dalam produksi dan pembagian wawasan dan informasi.
Disarikan dari Digital control: how Big Tech moves into food and farming (and what it means), Grain 2020