Masyarakat Adat dan Pengelolaan Hutan

Nawamharrun
4 min readJan 26, 2021

--

Kepala Dusun Sungai Utik (Sumber: Semes7a)

Konsep hutan sebagai sumber kehidupan tentu tidak bisa dipisahkan dari keterhubungannya dengan masyarakat adat dan komunitas lokal. Hutan mustinya dipahami sebagai hubungan antara elemen alam yang mendukung kehidupan seperti tanah, air, udara, sinar matahari, alam liar, suara atau bahasa dan bahkan roh.

Dalam budaya adat, hutan memiliki kehidupan dan roh. Ia memiliki tubuh dan kesehatan yang perlu dirawat dan diperhatikan. Ia memiliki bahasa dan komunikasi, serta hukum yang menentukan arah organisasi dan hubungannya. Hutan berperan sebagai tempat pemujaan, pusat belajar, area pemerintahan, farmasi, pasar, pelindung, serta sebuah wilayah.

Hubungan antara pengetahuan lokal yang dimiliki masyarakat adat dengan hutan juga menciptakan sebuah pengelolaan hutan yang sangat efektif, hasil dari pengamatan dan pengalaman ribuan tahun lama yang terus diturunkan dari generasi ke generasi. Melalui pengetahuan lokal, preservasi dan pengelolaan hutan bisa dilakukan tanpa membutuhkan banyak biaya, waktu dan tenaga. Pengetahuan lokal ibarat air sungai yang mengalir sesuai pola alamiahnya, dari hulu hingga ke hilir.

Hutan adalah sumber kehidupan bagi masyarakat adat (Sumber: Semes7a)

Masyarakat adat melihat hutan sebagai komunitas tanamanan, pepohonan, dan tanaman merambat yang hidup dalam harmoni. Setiap tanaman, pohon, dan tanaman merambat di hutan berperan sebagai sumber pupuk, sumber air, pelindung, pengontrol gulma dan hama, serta pengkultivasi tanah. Dengan memahami sifat hutan, masyarakat adat telah menciptakan sistem yang bebas dari bahan-bahan kimia, namun tetap cukup produktif untuk mendukung kebutuhan ekonomi, sosial, politik, dan spiritual mereka. Sistem pertanian hutan pangan adat itu lebih dari sekedar organik, karena tanaman-tanaman ini saling mendukung satu sama lain berdasarkan kontribusi mereka di antara tanaman tersebut. Ini adalah sistem multi-tanam berdasarkan skema “tanpa kebutuhan finansial”. Pengakuan akan hubungan budaya lokal dengan hutan membuat pengelolaan hutan menjadi lebih murah, namun efektif. Melalui budaya, pelestarian dan pengelolaan hutan dapat berlangsung tanpa disadari. Tidak dibutuhkan waktu, upaya, dan uang yang banyak karena budaya, sebagai gaya hidup, sifatnya sepertinya sungai, mengalir dari sumbernya. Teknologi tersebut hanya melibatkan alam dan tidak memerlukan modal yang besar. Berikut adalah contoh pendekatan pengelolaan hutan:

1. Pendekatan perbanyakan tanaman vertikal pada pertanian hutan pangan adat dilakukan dengan cara menanam beberapa tanaman dengan karakter buah yang berbeda-beda dalam satu lahan. Contoh, beberapa tanaman memproduksi buahnya di bawah tanah, beberapa menempati permukaan tanah, sisanya menempati permukaan di atas tanah baik merangkak, duduk, berdiri, memanjat, atau menggantung. Dengan memahami karakteristik ini, kompetisi antara tanaman dengan lahan terminimalisir, sementara produktivitas termaksimalkan.

2. Pendekatan perbanyakan tanaman horizontal dilakukan dengan mengkultivasi tanaman yang membutuhkan area atau jarak horizontal berbeda-beda di satu lahan. Area horizontal diperlukan oleh beberapa tanaman yang membutuhkan ruang. Beberapa butuh 1, 2, 5, bahkan 10 cm, sementara yang lain butuh jarak hingga 20 cm. Dengan menggabungkan jenis tanaman dengan berbagai kebutuhan ruang, produktivitas dari satu hektar hutan dapat meningkat menjadi 7 hingga 10 hektar. Pendekatan horizontal dan tanaman vertikal dilakukan dengan benar-benar memahami hubungan simbiotik tanaman seperti sifat alamiah hutan.

3. Resolusi konflik antar tanaman tercapai dengan memahami sifat dari konflik tersebut, seperti kompetisi antara jarak dengan wilayah, nutrisi, air, udara, cahaya dan daya. Tanaman yang tidak kompatibel memiliki kecenderungan saling menyerang atau menghancurkan, namun ini dapat dihindari melalui pengetahuan dari kompatibilitas tanaman. Contohnya, mengetahui bahwa sebuah tanaman dapat berperan sebagai penjaga dan inang bagi tanaman lain, baik sebagai pelindung, pemberi pupuk, air, kelembaban, penyiang tanah, pengontrol hama atau tangkai untuk tanaman lain.

Industri pertanian monokultur kelapa sawit telah mengurangi luasan hutan alami (Sumber: ALOO)

Pengenalan pertanian modern yang berfokus pada produksi tunggal dari tanaman “bernilai tinggi” yang sangat bergantung terhadap bahan-bahan kimia anorganik, pupuk dan, input intensif, telah berdampak negatif bagi kebutuhan lingkungan pertanian hutan pangan adat. Hari ini, kondisi alami tanah yang baik untuk tanaman asli telah tercemar oleh bahan kimia dan pupuk anorganik. Kondisi ini diperparah dengan kerusakan hutan secara masif yang menyebabkan konsep pemberdayaan sumber daya asing dan berbisnis dengan sumber daya dari alam. Awalnya, penebang diizinkan oleh pemerintah untuk berbisnis dari hutan alam dengan memotong pohon. Penebang membuat jalan yang menyebabkan erosi tanah yang masif hingga sungai dan aliran kristal. Kemudian, tanaman “bernilai tinggi yang sangat bergantung pada pupuk dan bahan kimia anorganik diperkenalkan untuk mencemari sungai dan tanah, sehingga membuatnya menjadi tidak baik lagi untuk tanaman asli. Dikarenakan pertanian adat selaras dengan alam, pemulihan kondisi alam diperlukan untuk mendapatkan kembali produktivitas penuh dari tanaman.

Kelestarian dan keselamatan budaya lokal dan adat sangat bergantung pada hutan dan alam dan sebaliknya. Saat budaya lokal terganggu, efeknya juga terjadi pada lingkungan. Begitu pula ketika elemen alam terganggu, budaya juga ikut terpengaruh. Indikator budaya dari pengelolaan hutan berkelanjutan meliputi praktik pengobatan tradisional, pemancingan yang produktif, mengumpulkan makanan, perburuan, pengumpulan madu, kecukupan bahan untuk produksi kerajinan tangan, kekayaan musik, seni, dan tari alam. Supaya pengelolaan hutan efektif, sumber daya alam harus dijaga demi keselamatan dan pengembangan budaya lokal. Jika masyarakat menyadari tentang peran penting sumber daya hutan terhadap keselamatan dan pengembangan budaya mereka, upaya mereka untuk menjaga dan merawat sumber daya hutan menjadi lebih kuat dan efektif.

Disarikan dari Saway, VL. 2003. Indigenous Cultures and Forest Management.

--

--

Nawamharrun
Nawamharrun

Written by Nawamharrun

Indigenous Ecological Knowledge

No responses yet