Masyarakat Adat dan Perubahan Iklim

Nawamharrun
7 min readMar 24, 2022

--

@jaguarsiembra

Masyarakat adat termasuk di antara mereka yang paling terkena dampak oleh perubahan iklim, padahal mereka berkontribusi paling sedikit terhadap penyebab perubahan iklim. Mereka sangat rentan terhadap dampak negatif dari perubahan iklim karena mata pencaharian mereka yang berbasis lahan, sejarah kolonisasi terdahulu, dan marginalisasi sosial. Tempat tinggal mereka mungkin berada di lokasi yang rentan seperti hutan primer, pulau-pulau kecil, dataran tinggi, dan pinggiran gurun pasir. Saat ekosistem berubah, masyarakat ini merespons — berdasarkan pengetahuan lokal, praktik tradisional, dan teknologi ilmiah untuk menyesuaikan mata pencaharian dan pengelolaan sumber daya lokal mereka. Selain beradaptasi dengan keadaan khusus, mereka juga turut mengurangi pemanasan global ke tingkat yang menguntungkan bagi semua orang.

Masyarakat adat telah lama menjadi garis depan perlawanan terhadap deforestasi; tambang mineral, minyak, dan gas; dan perluasan perkebunan monokultur. Resistensi mereka dapat mencegah emisi karbon berbasis lahan dan mempertahankan atau meningkatkan penyerapan karbon. Praktek pengelolaan lahan oleh masyarakat adat secara tradisional terbukti mampu melestarikan keanekaragaman hayati, memelihara berbagai jasa ekosistem, dan menjaga budaya dan cara hidup tradisional yang kaya. Tanah masyarakat adat mewakili 18 persen dari seluruh luas daratan, termasuk setidaknya 1,2 miliar hektar hutan (sekitar 14 persen dari lahan hutan global). Hutan-hutan ini dilaporkan menyimpan 37,7 miliar ton stok karbon.

Bagi masyarakat adat, perubahan iklim tidak hanya berdampak pada bentang alam fisik mereka; tapi juga hak asasi manusia, budaya, pengetahuan, dan pemerintahan adat. Diskusi panel antar pemerintah tentang Perubahan Iklim telah mengakui dampaknya terhadap masyarakat adat, serta kontribusi penting yang dapat dimiliki oleh pengetahuan dan sains tradisional ketika mengembangkan strategi untuk beradaptasi dan membatasinya. Banyak kelompok inisiatif di seluruh dunia bekerja untuk mendukung partisipasi efektif masyarakat adat dan lokal, sehingga pengetahuan dan praktik tradisional menjadi solusi terhadap pemanasan global — solusi yang relevan dengan konteks lokal dan responsif terhadap kebutuhan mereka yang paling rentan.

Sistem tradisional memiliki potensi untuk meningkatkan stok karbon di atas dan di bawah tanah serta mengurangi emisi gas rumah kaca melalui berbagai praktiknya. Masyarakat adat setempat mempraktikkan banyak cara hidup yang berbeda dalam batas-batas ekosistem melalui pertanian ladang atau berpindah, agroforestri, penggembalaan, penangkapan ikan, berburu dan meramu, dan pengelolaan hutan tradisional. Banyak dari budaya ini telah hidup berdampingan dengan siklus dan sumber daya alam dalam jangka waktu yang lama, terus beregenerasi, di tempat-tempat yang dihuni selama ribuan tahun.

@jaguarsiembra

Kebun Pekarangan Rumah. Sering terjadi di masyarakat yang tinggal dekat dengan hutan, kebun pekarangan rumah merupakan bentuk pertanian skala kecil yang telah dipraktekkan di banyak bagian dunia sejak dahulu. Pekarangan rumah di wilayah Asia Selatan dan Tenggara merupakan bagian penting dari lahan pertanian, dimana sekitar 12,7 juta hektar terdapat di Indonesia, 1,3 juta di Bangladesh, dan 2,6 juta di Sri Lanka. Sistem berkebun di pekarangan rumah memfasilitasi banyak keuntungan seperti siklus nutrisi yang efisien, produktivitas tinggi, komposisi spesies yang beragam, dan pemeliharaan nilai-nilai sosial dan budaya. Sistem yang bervariasi ini membantu dalam melestarikan keanekaragaman hayati, memenuhi ketahanan pangan lokal, dan melestarikan sumber daya tanah dan air. Kebun pekarangan rumah memiliki potensi penyerapan karbon yang lebih tinggi dibandingkan dengan sistem produksi tanaman tunggal atau monokultur, dengan tingkat penyerapan yang sebanding dengan tegakan hutan dewasa.

@jaguarsiembra

Penggembalaan. Penggembalaan secara tradisional di seluruh dunia dilakukan dengan mengelola daerah padang rumput yang luas dan sering kali keras, memanfaatkan sistem ini secara produktif untuk memenuhi kebutuhan subsisten mereka dan memelihara ekosistem yang menyerap sejumlah besar karbon. Padang rumput yang mencakup sekitar 40 persen dari luas lahan global merupakan penggunaan lahan tunggal terbesar di dunia. Sebagian besar dari tanah ini sejak dahulu telah dimanfaatkan dan dikelola oleh masyarakat adat untuk berburu, mengumpulkan, merumput, dan pertanian musiman. Masyarakat adat yang terlibat dalam pengelolaan penggembalaan memiliki ciri khas seperti hidup nomaden, populasi rendah, dan berpindah-pindah. Padang rumput terus mendukung mata pencaharian 100 juta hingga 200 juta penggembala, yang mengelola lebih dari 1,2 miliar hektar padang rumput secara global. Sistem ini secara biologis beragam dan sangat produktif, serta melestarikan simpanan karbon yang besar. Literatur menunjukkan bahwa lahan penggembalaan menyimpan hingga 30 persen karbon tanah dunia dan memiliki potensi untuk menyerap lebih banyak karbon secara signifikan pada tahun 2030 di bawah praktik pengelolaan padang rumput yang lebih baik. Selain itu, penggembalaan telah terbukti lebih produktif per hektar daripada peternakan komersial atau ternak menetap di lingkungan yang sama. Penggembalaan ternak tidak permanen membantu mengamankan karbon yang mungkin dilepaskan ke atmosfer, dibandingkan dengan sistem penggunaan lahan lainnya seperti produksi tanaman tahunan dan produksi tanaman bioenergi.

Namun, sistem penggembalaan tradisional saat ini berada di bawah ancaman karena perubahan iklim dan arus modernisasi. Penggembala berkontribusi secara signifikan terhadap ekonomi lokal, regional, dan nasional namun menghadapi pespektif negatif karena sejarah dan keberkelanjutannya. Praktik dan budaya subsisten mereka dianggap tidak efisien, irasional, berteknologi rendah, primitif, dan merusak lingkungan. Pandangan yang mengakar ini mendasari kebijakan yang berusaha untuk merampas tanah dan praktik tradisional para penggembala dari tanah mereka — misalnya, melalui upaya untuk mengakuisisi padang penggembalaan tradisional. Paling buruk, stereotip penggembalaan ini dapat melahirkan intoleransi etnis, yang dapat menyebabkan pengusiran paksa dan pelanggaran hak asasi manusia. Penggembalaan nomaden dan praktik pengelolaan padang rumput tradisional bertahan di sebagian besar padang rumput dunia dalam menghadapi tekanan sosial dan politik agar penggembalan menjadi menetap dan termodernisasi. Peraturan modern seperti perjanjian konservasi area komunal dan pemberian kepemilikan tanah atau pengembalian tanah asli kepada masyarakat adat membantu mengamankan hak penggembalaan untuk penggunaan padang rumput berkelanjutan.

@jaguarsiembra

Manajemen Kebakaran. Di seluruh dunia, populasi manusia telah mempraktikkan ekologi api sepanjang sejarah hingga saat ini karena berbagai alasan. Penduduk asli Amerika di bagian Utara terlibat dalam berbagai praktik pengelolaan lahan yang memanfaatkan pembakaran, yang dapat didokumentasikan dalam bukti sejarah dan arkeologi. Teknik pembakaran yang canggih diterapkan untuk menghasilkan lingkungan yang menguntungkan bagi sumber makanan tertentu, hewan buruan, dan bahan tanaman di seluruh lanskap yang luas. Di Pacific Northwest, penduduk asli menggunakan manajemen kebakaran untuk mempengaruhi berbagai ekosistem — mulai dari pembukaan hutan hingga padang rumput — untuk menciptakan habitat dan meningkatkan hasil bagi spesies tumbuhan dan hewan yang bermanfaat. Di Australia utara, penduduk asli telah mempraktikkan teknik untuk mengatur kebakaran musiman. Api telah digunakan untuk menjaga hutan dan pedesaan tetap terbuka, mengendalikan pertumbuhan vegetasi, komunikasi, dan peraturan adat. Manajemen kebakaran tradisional menggunakan intensitas rendah yang dilakukan ketika awal musim kemarau untuk membersihkan vegetasi, sehingga mengurangi intensitas kebakaran yang disebabkan oleh alam atau manusia.

@jaguarsiembra

Hutan yang Dikelola Masyarakat. Pengelolaan lahan hutan oleh masyarakat adat telah berlangsung selama berabad-abad. Tanah-tanah ini mungkin atau tidak diakui secara formal oleh negara sebagai milik atau dikelola oleh masyarakat adat atau komunitas lokal. Namun, banyak hutan adat atau yang dikelola masyarakat berada di bawah praktik tradisional dan hukum adat. Diperkirakan 400 juta hingga 500 juta orang di seluruh dunia bergantung pada hutan untuk mata pencaharian mereka; di antaranya adalah 60 juta masyarakat adat yang bergantung pada hutan di Amerika Latin, Afrika Barat, dan Asia Tenggara. Perkiraan total lahan hutan yang dikelola bersama, terlepas dari kepemilikannya, mencapai 8 miliar hektar.

Berbagai praktik dapat dianggap sebagai pengelolaan hutan adat atau masyarakat, termasuk pengelolaan bera, hutan rimba dengan spesies peliharaan, hutan keramat, budidaya selektif spesies tanaman hutan, dan pengelolaan hutan intensif. Pengelolaan adat mencakup praktik pengelolaan hutan secara individu yang melibatkan proses pengambilan keputusan kolektif tentang penggunaan dan konservasi hutan dalam masyarakat. Hilangnya penguasaan hutan dan ketidakamanan hak atas tanah memainkan peran penting dalam deforestasi dan degradasi lahan hutan adat atau yang dikelola masyarakat. Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa hutan masyarakat yang memiliki kepastian penggunaan lahan dalam jangka waktu tertentu menunjukkan tingkat deforestasi yang lebih rendah dan menghasilkan hasil ekosistem yang lebih sehat dibandingkan dengan hutan serupa tanpa jaminan penggunaan lahan. Pengelolaan hutan oleh masyarakat membantu menurunkan tingkat degradasi, meningkatkan pertumbuhan biomassa, meningkatkan tingkat penyerapan, dan mengurangi emisi dari hutan. Dalam tinjauan terhadap 118 kasus yang menilai hubungan antara jangka waktu penggunaan dan perubahan hutan, ditemukan bahwa kepastian waktu tersebut dikaitkan dengan hasil hutan yang positif dan berkurangnya deforestasi. Dalam studi lain menunjukkan bahwa hutan yang dikelola masyarakat rata-rata meningkatkan penyimpanan karbon sebesar 2 ton per acre per tahun dibandingkan dengan hutan yang tidak dikelola.

Meskipun ada tren penurunan lahan hutan, kawasan hutan global yang diperuntukkan atau dimiliki oleh masyarakat adat telah meningkat dari 951 juta hektar pada tahun 2002 menjadi 1,2 miliar hektar pada tahun 2013. Persentase lahan ini mewakili proporsi dari semua lahan hutan meningkat dari 10,8 persen menjadi 15,4 persen pada periode yang sama. Sementara tren global tampak positif, proporsi hutan adat dan hutan masyarakat di tingkat negara sangat bervariasi.

Terlepas dari tingkat yang sangat bervariasi, mengingat tren berkelanjutan dari kebijakan yang mendukung penunjukan dan kepemilikan hutan adat dan masyarakat, baik luas bruto global maupun proporsi dari semua total kawasan hutan di bawah penunjukan ini dapat diperkirakan akan meningkat. Di luar pengakuan hukum atas hak hutan, tindakan pemerintah diperlukan untuk memastikan penyediaan bantuan teknis, keterlibatan masyarakat adat dalam proses pengambilan keputusan, pemetaan masyarakat, pengusiran pemukim ilegal, dan promosi pengelolaan hutan kemasyarakatan untuk meningkatkan keamanan hutan. Untuk meningkatkan pengelolaan tanah adat memerlukan lingkungan kebijakan jangka waktu penggunaan yang mendukung dan kolaborasi pemerintah untuk melindungi hak atas tanah masyarakat adat.

DAMPAK: Masyarakat adat memiliki kepemilikan lahan yang aman sekitar 1,3 miliar hektar secara global, meskipun mereka hidup dan mengelola lebih banyak lahan lagi. Hasil analisis menunjukkan tingkat penyerapan karbon yang lebih tinggi dan tingkat deforestasi yang lebih rendah di lahan yang dikelola oleh masyarakat adat. Jika lahan hutan di bawah kepemilikan yang aman tumbuh sebesar 909 juta hektar pada tahun 2050, pengurangan deforestasi dapat mengakibatkan 6,1 gigaton emisi karbon dioksida dapat dihindari. Solusi ini dapat membawa total kawasan hutan di bawah pengelolaan adat menjadi 2,2 miliar hektar, mengamankan cadangan terlindung diperkirakan 232 gigaton karbon, kira-kira setara dengan lebih dari 850 gigaton karbon dioksida jika dilepaskan ke atmosfer.

Referensi
Project Drawdown. 2017. Indigenous people’s land management. Di dalam: Drawdown, the most comprehensive plan ever proposed to reverse global warming, ed. Paul Hawken. New York: Penguin Books. Hal. 332–341.

--

--