Manusia Tak Pernah Selaras dengan Alam
Klasifikasi berbagai bentuk kehidupan seluler di Bumi telah banyak diusulkan dan mengalami banyak perubahan oleh banyak ilmuwan taksonomi. Peradaban manusia mengenal organisme tersebut antara lain bacteria, archaea, protozoa, chromista, plantae, fungi, dan animalia. Organisme tersebut tentu berbeda satu dengan yang lain berdasarkan karakteristiknya masing-masing tetapi saling terhubung dalam suatu ekosistem tunggal yang masif. Namun dengan egosentris-nya, manusia mencoba mengelompokkan hubungan timbal-balik makhluk hidup ke dalam bentuk simbiosis atau hubungan antar organisme, dimana manusia menduduki puncak piramida tersebut. Dalam simbiosis dikenal mutualisme (saling menguntungkan), komensalisme (salah satu diuntungkan, yang lain tidak dirugikan), dan parasitisme (salah satu mengalami kerugian). Tetapi, dari sudut pandang yang absolut, bagaimanapun, hubungan antar makhluk hidup seluler di Bumi bukan sebatas kompetitif atau kooperatif, melainkan satu dan sama secara keseluruhan.
Seluruh makhluk hidup masuk ke dalam rantai makanan yang tidak ada akhirnya, mereka hidup dengan memakan sesuatu dan mati karena sesuatu yang lainnya. Dogma ini adalah tentu tepat dalam memaknai kehidupan alam. Zat dan energi di permukaan Bumi juga berada dalam aliran yang konstan, melewati siklus berkelanjutan yang melibatkan kelahiran dan kematian.
Tumbuhan sebagai produsen dalam mata rantai makanan di Bumi, digunakan oleh makhluk hidup lain sebagai konsumen untuk hidup. Beberapa konsumen dalam tingkat rendah dimangsa oleh konsumen di atasnya, sedangkan konsumen lainnya secara berulang mengalami kemunduran daya hidup akibat penyakit atau penuaan. Makhluk hidup yang mati meninggalkan jasad organik yang kemudian diurai oleh mikroorganisme yang juga berkembang biak dan mati, semua pada akhirnya kembali ke dalam siklus nutrisi Bumi yang kemudian diserap kembali oleh tumbuhan.
Mikroorganisme seperti bakteri, cendawan (termasuk cendawan sejati dan kapang), cendawan lendir (Myxomycota), dan khamir (yeast) memiliki hubungan mangsa-predator. Ada cendawan yang mampu menghasilkan miselia untuk menangkap mangsa dan membunuhnya melalui proses disolusi, ada bakteri yang mengeluarkan substansi tertentu yang membunuh cendawan, ada bakteriofage yang membunuh bakteri, ada virus yang mampu membunuh baik bakteri maupun cendawan, dan ada juga virus yang membunuh virus lainnya. Kemudian baik virus, bakteri maupun cendawan juga ada yang memparatisasi dan membunuh tumbuhan dan hewan.
Disisi lain, ada laba-laba yang memangsa hama padi seperti penggerek batang (Scirpophaga innotata) dan wereng hijau (Nephotettix virescens), ada tungau yang memangsa laba-laba, ada tungau predasi yang memangsa tungau tersebut, ada kumbang koksi yang memangsa tungau predasi, ada cocopet yang memangsa kumbang koksi, ada orong-orong dan kaki seribu yang memangsa telur cocopet, ada burung layang-layang yang memangsa kaki seribu, ada ular yang memangsa burung kecil, dan ada burung elang dan anjing yang memangsa ular tersebut.
Bakteri, cendawan dan virus juga menyerang organisme lainnya. Di satu sisi, ada nematoda yang memangsa bakteri, nematoda lainnya dimangsa oleh cacing tanah, dan cacing tanah dimangsa oleh tikus tanah. Ada musang yang memangsa tikus tanah, dan mikroorganisme mengurai jasad organik musang yang mati, menyediakan nutrisi bagi tumbuhan. Tumbuhan juga diparatisasi oleh beragam patogen, cendawan dan hama, dan menyediakan makanan bagi hewan dan manusia. Bisa dibilang, ekosistem alami merupakan sistem pengaturan luar biasa kompleks yang menghubungkan beragam organisme, tidak ada yang terpisah dari yang lain, tidak ada juga yang mati dan hilang begitu saja. Ekosistem tidak bisa dilihat sebagai dunia yang penuh kompetisi untuk bertahan hidup atau yang kuat memakan yang lemah, tetapi sebagai suatu kesatuan keluarga yang memiliki banyak anggota yang hidup bersama dalam keharmonisan.
Dekomposer Sampah di Bumi
Kehidupan manusia tidak lebih luas dari kelahiran dan kematian. Sel hidup seseorang ada pada anak dan cucu mereka yang terus bermultiplikasi hari demi hari. Secara bersamaan, tubuh juga mengalami penurunan metabolisme, penuaan dan pelemahan fisik. Setelah kematian, jasad akan terdekomposisi sebagai makanan oleh mikroba. Bahkan aroma asam menyengat dari jasad tubuh manusia yang sudah mati berasal dari hasil fermentasi bakteri asam laktat tersebut.
Berkat mikroba yang mengurai sisa hewan dan tumbuhan, permukaan Bumi selalu dalam kondisi bersih dan indah. Jika seluruh hewan mati dan jasad reniknya tidak terdekomposisi, beberapa hari kemudian tentu Bumi tidak lagi nyaman untuk dihuni. Manusia memahami aktivitas dekomposisi sebagai hal yang biasa dilakukan oleh mikroba dan hewan kecil, tetapi bagi Bumi, ini merupakan drama terbesar yang pernah ada.
Tidak ada burung terbang di udara yang harus punah. Cacing tanah yang menggali di dalam tanah juga tidak harus dimusnahkan. Juga tidak perlu populasi tikus dan laba-laba terlalu besar. Jika satu jenis cendawan saja bisa bertahan lebih lama dari biasanya, kesetimbangan ekosistem akan goyah. Jutaan spesies yang hidup selaras tanpa peningkatan atau penurunan, mereka lahir dan mati bahkan ketika manusia tidak menyadarinya. Semua aspek kehidupan memiliki takaran ukuran yang sesuai dengan peran masing-masing dari mereka di alam, tidak terlalu banyak maupun tidak juga terlalu sedikit.
Desain manajemen pengolahan sampah paling mutakhir sekalipun hanya ibarat sebuah permainan anak kecil bila dibandingkan dengan betapa kompleksnya sistem alam. Manusia pun kadang kala kebingungan mengurusi sampa dapur mereka sendiri, padahal alam bekerja dengan skala yang berbeda dan lebih luas.
Setidaknya dibutuhkan 20 menit hingga satu jam bagi sebuah bakteri atau kapang untuk membelah dan menjadi dua, dan dengan waktu yang sama menjadi empat. Jika diasumsikan multiplikasi terus berlangsung dengan syarat ketersediaan nutrisi dan lingkungan mendukung pertumbuhan, setelah dua atau tiga hari, satu sel bakteri tunggal seperti Escherichia coli mampu menghasilkan massa sel yang bahkan bisa menutupi seluruh permukaan Bumi. Kemampuan organisme Bumi untuk bermultiplikasi bisa dibilang jauh lebih kuat dibanding apapaun yang pernah manusia pikirkan. Secara bersamaan, kemampuan mereka untuk menghancurkan dan mengurai organisme lain juga sangat hebat.
Keseimbangan antara multiplikasi dan destruksi, keseimbangan antara produksi dan konsumsi, fakta bahwa alam telah melihat pertumbuhan dan perbanyakan organisme, juga dalam pengolahan limbah organik mereka sendiri, alam melakukan keduanya dengan cepat dan harmonis tanpa hambatan sedikit pun, selama ribuan dan jutaan tahun, semua proses tersebut memiliki konsekuensi yang sangat besar bagi kehidupan di Bumi.
Bila ditelisik bagaimana alam mengurai bangkai hewan akan menunjukkan kepada manusia sebuah metode yang sempurna dalam segala hal baik dari segi biologis, fisik, dan kimiawi. Jika manusia kemudian mencoba hal yang sama dengan akal mereka, alam akan terganggu dengan masalah dan kemauan manusia yang menghasilkan sampah dalam beberapa bentuk tak terurai dengan sempurna.
Pernyataan Masanobu Fukuoka tentang cara kerja alam:
Saya akan memberi satu contoh lain tentang bagaimana kehebatan alam jika kita melihatnya dari sudut pandang berbeda, bukan sudut pandang keserakahan manusia. Ketika saya bekerja di Pusat Pengujian Pertanian di Prefektur Kochi, saya bertugas mengisolasi bakteri menguntungkan yang mampu membantu dalam pembuatan kompos jerami dan rerumputan. Saya membutuhkan organisme yang bisa mendekomposisi jerami dan bahan organik tanaman lainnya dengan cepat. Hal ini sama dengan bakteri menguntungkan yang terus dicari oleh ilmuwan zaman sekarang untuk mengonversi sampah dan limbah menjadi pupuk.
Saya mengumpulkan sampah dari lubang pembuangan, juga kotoran sapi, babi, ayam, kelinci, dan domba. Dari bahan tersebut, saya mengisolasi dan mengkulturkan mikroorganisme, hingga diperoleh beragam isolat mikroba berbeda dari kelompok bakteri, cendawan, khamir, dan kapang. Saya bisa mengoleksi isolat mikroba dalam jumlah banyak untuk digunakan dalam menyiapkan kompos. Saya kemudian menginokulasikan tiap isolat mikroba tersebut ke dalam jerami di dalam tabung uji atau dengan wadah rapat tertutup, kemudian mengamati laju pembusukannya.
Selanjutnya, saya menyadari bahwa eksperimen yang saya lakukan benar-benar tidak berguna. Disamping pertimbangan waktu yang lama, penelitian seperti ini mungkin terlihat berguna, tetapi jika kita melihat lebih dalam, alam telah membuat suatu metode yang lebih baik dalam menangani sampah organik dan tentu dalam kasus menyiapakan kompos.
Daripada bersusah payah mengisolasi bakteri yang dianggap menguntungkan kemudian menggunakannya sebagai promotor fermentasi, semua yang saya lakukan sangat sederhana, mengambil segenggam kotoran ayam atau serumpun tanah, kemudian mencampurkannya ke dalam jerami. Tidak hanya paling cepat, apa yang saya lakukan ini terbukti bisa mengomposkan bahan organik dengan sempurna.
Tidak perlu meributkan metode pertanian mana yang paling hebat. Dengan mengikuti alam, kita akan memahami transformasi jerami jatuh ke tanah menjadi kompos terturai adalah sederhana namun kompleks bagi manusia.
Jerami menarik banyak lalat dan serangga kecil lainnya yang meletakkan telurnya, kemudian berubah menjadi maggot dan larva. Sebelum hal ini terjadi, penyakit blas padi, bisul daun, dan cendawan penyebab busuk sudah ada di daun padi yang menyebar cepat ke seluruh jerami, tetapi tungau laba-laba (Phytoseiulus persimilis) dengan segera merangkak di atas permukaan miselium cendawan tersebut. Selanjutnya, mikroba yang lain mulai tumbuh seperti khamir, blue mold (Penicillium expansum), bread mold (Rhizopus stolonifer) dan cendawan Trichoderma spp, yang kemudian menghancurkan patogen dan mulai mendekomposisi jerami. Di titik ini, jumlah dan jenis organisme yang turut serta akan meningkat meliputi nematoda yang memakan cendawan, bakteri yang memakan tungau, dan juga laba-laba, kumbang tanah, cocopet, orong-orong dan siput. Semua organisme tersebut saling berinteraksi dan hidup di dalam jerami, hingga jerami perlahan terdekomposisi.
Hingga cendawan pendekomposisi fiber tumbuhan kehabisan makanannya, mereka berhenti tumbuh dan nutrisinya disuplai oleh bakteri pendekomposisi lignin dalam bentuk lipoid yang memakan cendawan dan sisa-sisa bahan organik yang ditinggalkan cendawan tersebut. Sebelumnya, terjadi fenomena paratisme dan kanibalisme di antara bakteri aerobik, dan secara bertahap diganti oleh bakteri anaerobik. Bakteri asam laktat mengakhiri proses fermentasi asam laktat, dimana seluruh sisa jerami telah menghilang karena terdekomposisi sempurna. Fenomena ini hanya sekilas dari keseluruhan proses dekomposisi sebatang jerami di atas tanah selama beberapa hari.
Ahli mikrobiologi tentu sangat memperhatikan bagaimana cepat dan sempurnanya proses dekomposisi dan pembusukan bahan organik di alam. Namun, manusia kini lebih mempercayai bahwa mereka bisa membuat metode pengomposan yang lebih intensif menggunakan mikroba menguntungkan untuk mempercepat pembusukan atau dengan cara menaikkan temperatur untuk memicu pertumbuhan bakteri. Manusia harusnya berhenti dan berpikir bagaimana tidak berguna dan tidak perlu upaya yang mereka lakukan. Apapun yang dilakukan manusia hanya mengganggu proses alam yang sempurna.
Ketika melihat proses jerami yang membusuk, respon tanaman terhadap pemberian pupuk, perbaikan kualitas tanah, dan seluruh proses yang ada di alam, manusia perlu menyadari bahwa apa yang mereka ketahui hanya sebatas beberapa fenomena dalam waktu yang terbatas bagaimana alam bekerja. Itu baru yang bisa dilihat oleh mata telanjang manusia, sedangkan masih banyak jutaan misteri yang tak terlihat tentang proses alam itu sendiri. Manusia dengan ketidak tahuannya, berlagak seperti sutradara yang malah mengacaukan keseimbangan alam dan menimbulkan kerusakan yang tidak berkesudahan.
Pestisida dalam Biosistem
Tumbuhan dan hewan punya hak untuk hidup bebas dan tanpa tekanan dari luar, tetapi kenyataannya tidak demikian ketika manusia mulai masuk ke dalamnya. Manusia menganggap pestisida, pupuk sintetik dan mesin pertanian sebagai sebuah batu loncatan peradaban pertanian dunia. Manusia mengira dengan menggunakan pestisida, maka mereka bisa mengendalikan hama atau penyakit tertentu secara spesifik, padahal mereka justru menambah masalah baru dan menutup mata akan dampak berkepanjangan terhadap ekosistem sekitar.
Pengalaman Masanobu Fukuoka dalam mengamati penyakit
Saya punya contoh kecil tentang itu, kecelakan yang terjadi secara lokal. Desa saya terkenal dengan buah lokuat Karakawa. Ketika itu, saya sedang berjalan menyusuri desa dengan staf dari koperasi pertanian lokal, kami melewati perkebunan lokuat dan saya ingat ada seseorang yang berkata: “Lokuat tahun ini lagi-lagi mengalami musim dingin yang buruk dan tidak ada bunga yang berhasil mekar dengan sempurna. Hal ini telah berlangsung selama bertahun-tahun, hingga petani kehilangan minatnya untuk menanam lokuat.” Mengetahui hal ini cukup sulit bagi saya untuk mempercayainya, saya memberhentikan mobil dan menuju kebun tersebut untuk mengeceknya. Saya menemukan hampir semua mahkota bunga membusuk dan saya melihat ada spora dari cendawan Botrytis sp. Menurut saya ini bukanlah karena kerusakan akibat musim dingin tetapi karena penyakit Botrytis, saya menjelaskan bagaimana menangani masalah ini dengan cara penyemprotan tetapi juga menyarankan dua atau tiga cara lainnya yang lebih alami. Kepala koperasi hortikultura setempat kemudian menghubungi stasiun pengujian pertanian lokal, dan mengajak seluruh warga desa untuk ikut ke dalam program penyemprotan pestisida. Saya kemudian mendengar bahwa penyakit tersebut kemudian bisa dikendalikan.
Tapi beberapa waktu kemudian, lokuat mulai menunjukkan gejala penyakit yang sama, tetapi satu pertanyaan yang belum terjawab. Mengapa ledakan penyakit tersebut terjadi pada tempat pertama munculnya penyakit? Saya menduga hal ini dipicu oleh penyemprotan pestisida jenis baru yang sama digunakan dalam menangani penyakit pada jeruk.
Saya tidak bisa memastikannya dengan tepat karena saya tidak menjalankan percobaan skala laboratorium, tapi saya yakin organisme yang bertanggung jawab adalah cendawan Botrytis walaupun belum teridentifikasi. Entah itu spesies Botrytis cinerea, yang menyebabkan penyakit Grey Mold pada buah jeruk, atau merupakan varian lainnya. Berdasarkan asumsi ini, ledakan penyakit Grey Mold yang parah mungkin disebabkan oleh:
1) Penanaman tumpang sari pohon jeruk dengan lokuat karena saat itu produksi jeruk sedang marak-maraknya.
2) Peralihan cepat lahan kosong menjadi perkebunan kecil buah-buahan lokal sehingga memicu pertumbuhan gulma yang lebat, menciptakan lingkungan permukaan tanah yang lembab dan mendukung pertumbuhan mikroba.
3) Adanya promosi teknik penjarangan buah. Buah muda jatuh ke tanah dan terkolonisasi oleh cendawan.
4) Penggunaan bubur Bordeaux, yang cukup efektif mengendalikan cendawan, tapi tidak lagi dilanjutkan dan menggantinya dengan penggunaan pestisida jenis baru di tempat tersebut.
Cendawan ini sepertinya saprofitik parsial dan menimbulkan kerusakan yang serius ketika berada dalam populasi yang besar. Penyebab munculnya penyakit tersebut biasanya karena sanitasi kebun yang buruk, kelembaban yang berlebihan, rendahnya vigoritas tanaman, dan saling bertumpangnya dahan dan ranting yang meningkatkan kelembaban. Sejak itu, faktor tunggal terbesar adalah mikroiklim di perkebunan buah-buahan tersebut, penyebab utama ledakan populasi cendawan tersebut diduga karena kelembaban yang tinggi. Jika hal tersebut penyebabnya, saya juga menjadi bagian yang disalahkan.
Langsung setelah akhir perang, saya mendorong petani, sebagai bagian dari kampanye publik dalam mengeliminasi penyebaran malnutrisi, dengan menyemai semanggi di perkebunan jeruk dan lahan desa yang tidak ditanami, dan juga memelihara kambing. Praktek ini terbukti cukup baik dan dalam banyak kasus juga menghasilkan pertumbuhan gulma yang lebat. Kelembaban tinggi di perkebunan tersebut tentunya mendukung pertumbuhan Grey Mold dan pembusukan bunga lokuat. Jika demikian, petani bisa jadi menebar benih kesialannya sendiri, tetapi yang paling bertanggung jawab atas masalah tersebut adalah saya.
Masalahnya tidak berakhir sampai disini. Setelah menyadari penyakit tersebut disebabkan oleh cendawan Botrytis sp. dan kemudian menyemprotnya dengan pestisida kuat seperti zineb, organoarsenik atau organoklorine dan juga penggunaan herbisida, petani dengan gembiranya mengklaim bahwa penyakit tersebut berhasil dikendalikan, tetapi apakah mereka punya alasan untuk merayakannya?
Cendawan tersebut akan dorman ketika memasuki musim dingin pada bagian mahkota bunga yang berjahutan, diikuti dengan fusi hifa yang membentuk sklerotium seukuran biji apiun. Cendawan berukuran kecil berada di dalam sklerotium dan di dalam cendawan tersebut terbentuk arkospora, atau kantung yang mengandung spora. Kantung ini, berukuran kurang dari satu milimeter, mengandung delapan spora kecil yang secara genetik berbeda. Jika arkospora cendawan termasuk oktopolar, maka kemudian ia akan mampu memproduksi lebih banyak varian dibanding tetrapolar pada cendawan shiitake.
Maksud saya dengan menunjukkan ini adalah meskipun strain baru baik hewan maupun tumbuhan tidak muncul dengan mudah, peluang kejadiannya pada organisme bakteri dan cendawan sangat besar dan mendorong munculnya masalah serius kedepannya. Penyemprotan pestisida dengan kandungan toksisitas yang tinggi dan bahan kimia bersifat mutagenik pada organisme yang mudah bermutasi adalah seperti meminta untuk diberi masalah, tidak ada yang tahu mutan seperti apa yang akan muncul.
Hasilnya tentu saja kemunculan patogen yang resisten terhadap pestisida jenis baru dan mikroba yang sangat parasitik. Pengalaman pribadi lainnya menguatkan dugaaan terhadap teori tersebut. Karena cendawan penyakit resin yang menyerang lemon dan anggur tumbuh di Amerika Serikat, sedangkan cendawan yang menyerang jeruk Satsuma dan jeruk musim panas di Jepang punya nama ilmiah yang berbeda, saya mengira mereka spesies yang berbeda, tapi ketika saya mencoba menginteraksikannya, terjadi konjugasi miselia dan terbentuk arkospora. Dengan menyilangkan empat spora cendawan tersebut dalam berbagai cara, saya mampu memproduksi strain yang berbeda.
Membiarkan Alam Bekerja dengan Sendirinya
Orang pada umumnya akan keberatan dengan keberadaan patogen strain baru, tapi bagi Ilmuwan, strain baru adalah sumber daya tarik yang menyenangkan. Sebaliknya, tidak ada cara untuk mengatakan ketika suatu hal yang memberi manfaat bagi manusia kemudian tiba-tiba berubah menjadi sesuatu yang sangat merugikan. Selain dari dasar pendirian tidak bertentangan dengan alam, manusia tidak memiliki kriteria mutlak untuk menilai apa yang baik atau buruk, apa keuntungan dan kewajiban. Meskipun aturan umumnya adalah membuat penilaian seperti itu atas dasar kasus per kasus di bawah keharusan saat ini.
Makin menyebarnya penggunaan pestisida baru di beberapa daerah, ledakan patogen dan hama yang resisten terhadap pestisida tiba-tiba muncul. Lusinan organisme terlibat dalam kejadian tersebut, meliputi tungau, wereng, penggerek batang padi, dan kumbang. Satu hal yang menjadi kemungkinan adalah adanya seleksi dan kemampuan bertahan hidup organisme yang resisten terhadap pestisida, kemungkinan lainnya adalah peningkatan organisme yang beradaptasi terhadap pestisida. Hal yang paling menakutkan adalah kemungkinan penggunaan pestisida akan memicu munculnya ekospesies dan mutan. Beberapa ilmuwan mempertimbangkan peluang terjadinya retaliasi pada serangga, tetapi saya meyakini akan lebih parah lagi dampaknya pada bakteri, cendawan dan virus.
Pestisida jenis baru makin marak diteliti tingkat toksisitasnya pada tubuh manusia, percobaan dalam pemuliaan tanaman melalui radiasi sinar dengan panjang gelombang tertentu juga dilakukan. Para ilmuwan percaya bahwa mereka melakukannya demi kepentingan peradaban manusia di Bumi, padahal mereka hanya menyemai benih kerusakan untuk masa depan.
Ketika beragam tanaman hasil radiasi di tanam di lapang, ilmuwan melakukan beberapa percobaan tanpa memikirkan dampaknya terhadap makhluk hidup lain yang ada di atas maupun di bawah permukaan tanah. Ketika saya memperhatikan para ilmuwan melakukan percobaannya, saya hanya merasa khawatir teramat sangat bilamana percobaan tersebut, tanaman mutasi, justru memunculkan jenis mikroba mutan baru yang belum ada sebelumnya.
*Tulisan ini adalah terjemahan bebas dari beberapa bagian dalam buku karya Masanobu Fukuoka yang berjudul The Natural Way Of Farming — The Theory and Practice of Green Philosophy (1985).