Kristalisasi Pola Pertanian Nusantara: Periode Klasik (Sebelum Abad ke-17)
Bagaimana bisa persebaran penduduk Indonesia sekarang tidak merata? Mengapa sistem pertanian “ladang” ketimbang sawah identik dengan Indonesia Bagian Luar (Luar Jawa), sedangkan lebih dari seperempat areal sawah menumpuk di Jawa Barat, Timur, Tengah, Bali Selatan dan Lombok Barat? [1] Faktor apa yang mempengaruhi pola penggunaan lahan sekarang sehingga menjadi sesuatu yang tetap? Apa faktor sejarah ekologis yang mempengaruhi pembentukan ekonomi agraria di Indonesia?
Menurut Mohr, Geologis Belanda, perkembangan tanah persawahan di Jawa (sebelum masehi) dipengaruhi oleh kombinasi empat elemen kuno yakni Api, Air, Bumi dan Udara [2]. Elemen Api berasal dari aktivitas lebih dari 30 gunung api aktif yang menyediakan hara melimpah bagi tumbuhan di pulau Jawa. Elemen Air berasal dari sungai baik itu kecil, besar, pendek, panjang, yang mengalir dari gunung berapi kemudian mengangkut hara mineral yang dihasilkan menuju ke selatan Samudera Hindia maupun utara Laut Jawa. Elemen Tanah berupa tanah landai tertutup dengan drainase yang cukup baik, dibentuk oleh alur sungai di antara pegunungan sehingga menciptakan sebuah mahakarya alam yang indah dan sangat mendukung irigasi pertanian tradisional. Dan elemen Udara adalah hasil dari kondisi iklim yang lembab, sebagaimana kondisi wilayah peralihan garis khatulistiwa antara Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku yang terus menerus hujan, sedangkan daerah Nusat Tenggara hingga ke timur cenderung kering.
Kondisi tersebut menguntungkan pulau Jawa karena terhindar dari penggenangan dan erosi berlebih seperti di daerah sebelah utara dan barat, serta terhindar dari kekeringan dan badai angin seperti di daerah sebelah selatan dan timur. Secara tradisional, Jawa (Bali dan Lombok) bukanlah hamparan dataran sawah yang bersambungan dari ujung barat ke timur, melainkan cekungan aluvial sempit yang terpisah di antara pegunungan, membentuk satu-kesatuan sendiri (Lihat Peta 2) [3].
Walaupun demikian, daerah Agam dan Toba di Sumatera Tengah dan Utara adalah pengecualian karena sangat cocok digunakan sebagai sawah. Sementara itu, tidak ada kawasan lainnya di Indonesia Bagian Luar yang mendukung lahan persawahan. Sumatera terdiri dari tanah pegunungan curam di sebelah Barat dan tanah gambut di sebelah Timur; Kalimantan memiliki drainase yang buruk; Sulawesi dipenuhi deretan pegunungan dan hanya sedikit hamparan tanah datar yang luas; Maluku terdiri dari daratan terpisah-pisah dan iklim yang sangat basah; dan Nusa Tenggara yang juga terpisah-pisah serta memiliki iklim yang sangat kering ketika musim kemarau. Di Sumatera, sebagian gunung berapi masih aktif tetapi memuntahkan material asam sehingga tidak menyuburkan tanah dan malah mematikan tumbuhan disekitarnya, sementara di Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara tidak memiliki gunung berapi aktif. Dengan demikian, tidak diragukan lagi bahwa kecenderungan masyarakat dahulu membuka sawah di tanah Jawa sedang di Indonesia Bagian Luar lebih banyak dihiasi oleh aktivitas perladangan melalui teknik tebang dan bakar karena selain mudah dilakukan juga bisa mengakomodir lahan yang luas dalam waktu singkat.
Sistem persawaan tradisional yang terintegrasi barangkali sudah ada di beberapa lokasi baik pada bagian tengah maupun timur pulau Jawa. Diantara lereng-lereng gunung Sumbing, Sindoro, Merbabu dan Merapi, sistem tersebut berada di aliran panjang sungai Progo yang ke arah selatan melewati Magelang; di hulu Bengawan Solo di sebelah barat daya Surakarta; di lembah sungai Serayu di hulu Banyumas sekarang; dan dataran sungai Lukolo dan Bogowonto di sekitar Kebumen dan Purworejo. Beberapa tahun kemudian, lahan persawahan mulai meluas hingga sepanjang sungai Brantas bagian hulu dan tengah di sekitar Malang dan Kediri, kemudian ke arah selatan di daerah Ponorogo dan Madiun (Lihat Peta 3) [4].
Ekspansi persawahan di luar area wilayah Jawa Asli atau disebut Kedjawen ketika masa prakolonial hingga pertengahan abad 19 adalah gradual, tentatif, fluktuatif dan hanya parsial. Perluasan areal sawah tersebut dapat terjadi dalam tiga arah (Lihat Peta 4): (1) ke utara, ke arah pantai Laut Jawa dengan deltanya (mengingat pantai selatan Jawa kebanyakan didominasi perbukitan kapur), (2) ke barat, ke arah tanah pegunungan Sunda, (3) dan ke timur, ke arah kawasan Ujung Timur yang kering meliputi Pasuruan, Probolinggo, Besuki, dan Banyuwangi. Masing-masing kawasan tersebut memiliki permasalahan teknis yang berbeda dalam hal irigasi walaupun dengan pendekatan tradisional. Di daerah pesisir, permasalahan utamanya ialah manajemen pengairan, drainase, dan mitigasi banjir, karena sebagian besar dilewati aliran sungai besar (lebih besar dari sungai di kawasan beriklim sedang) [5].
Tingkat kesuburan terutama di daerah Cirebon dan Jepara serta Solo dan delta Brantas sangatlah tinggi dikarenakan deposit aluvial dari muntahan vulkanik gunung berapi dan sedimen lainnya, serta ketersediaan air yang cukup melimpah. Namun, karena tekstur tanahnya yang mudah menjadi rawa ketika terjadi genangan berlebihan dan tinggi permukaan yang lebih rendah dari permukaan air laut, selama periode prakolonial hingga kolonial, area tersebut tidak begitu dikembangkan untuk persawahan tradisional. Tanah pegunungan Sunda memiliki ketersediaan air yang cukup dan drainase yang baik, tetapi tingkat kesuburannya rendah akibat tingginya erosi dan susunan topografi yang kurang cocok untuk persawahan, sedangkan di kawasan Ujung Timur malah kekurangan air berkepanjangan ketika musim kemarau.
Mohr [6] juga menyatakan bahwa ada tiga aspek atau fungsi irigasi yang seringkali kurang disadari perbedaannya: (1) fungsi pengairan, menyediakan air untuk tanah; (2) fungsi pengontrolan, mengatur ketersediaan air yang cukup agar terhindar dari genangan banjir; (3) fungsi pemupukan, metode penyuburan tanah dengan melarutkan hara mineral ke dalam saluran irigasi.
Aspek mana yang paling penting bergantung dari kondisi lingkungan setempat sebagai faktor pembatas [7]. Misalnya di Ujung Timur, permasalahan utamanya adalah irigasi sebagai fungsi pengontrolan karena tingkat curah hujan dan debit air sungai yang tidak teratur tiap musimnya dan sulit diprediksi. Sementara itu, di tanah Sunda, aspek utamanya adalah fungsi pemupukan [8] karena tingkat kesuburan tanah yang rendah. Ketika areal persawahan meluas ke luar daerah Kejawen, permasalahan yang dihadapi semakin kompleks dan membutuhkan penyelesaian teknis yang berbeda-beda sesuai kondisi lokal. Hal inilah yang menjadi pendugaan mengapa perluasan areal persawahan di masa sebelum kolonial berlangsung terhambat.
Di Bagian Barat, daerah Sunda juga tidak begitu banyak perluasan sawah. Laporan pertama perluasan sawah ke tanah pegunungan baru terdengar pada tahun 1750 di Sumedang dan Tasikmalaya, pada daerah lembah sungai kecil di perbatasan sebelah timur. Setengah abad kemudian, perluasan dimulai dari lembah-lembah dataran tinggi menuju ke dataran lebih tinggi lagi di wilayah Bogor dan Bandung menuju ke barat [9]. Tetapi, sampai sekarang persawahan intensif hanya terbatas di daerah-daerah tersebut dan ditambah cekungan antar pegunungan yang mendukung persawahan seperti Cianjur, Sukabumi, Garut dan lainnya. Ke arah timur lagi, perluasan sawah telah dimulai bahkan sekitar tahun 1200. Tetapi karena air sungai tidak cukup, sawah-sawah tersebut bergantung pada air hujan yang ditampung melalui pematang, sehingga luas persawahan sangat terbatas dan tidak bisa diandalkan untuk memenuhi kebutuhan pangan lokal setempat. Hal ini terus berlangsung kira-kira hingga awal abad ke-20, Belanda mulai membangun waduk-waduk vital yang sebetulnya digunakan untuk mengairi komoditas perkebunan mereka [10]. Walaupun keberadaan waduk meningkatkan produktivitas, tetapi luas persawahan tidak begitu meningkat secara signifikan. Misalnya di tanah pegunungan Sunda, persawahan hanya menempati kira-kira 15 persen dari seluruh kawasan tanah Sunda. Padahal, di Kejawen sendiri luasnya kira-kira meliputi 25 persen dan di Pesisir utara mencapai 35 persen. Angka yang sebanding untuk Bali Selatan (Tabanan, Badung, Cianyar, Bangli dan Klungkung) adalah 26 persen [11].
Situasi di pesisir lebih rumit lagi walaupun produktivitasnya sama. Sejak dahulu penanaman padi di beberapa tempat hanya dilakukan sekadarnya, tidak ada inovasi teknologi tradisional yang pasti, khususnya di sekitar ratusan muara sungai kecil yang membelah pantai utara. Padahal, ada dugaan bahwa persawahan pertama di Jawa pertama kali dilakukan di dekat muara kecil dan delta-delta yang lebih besar dan cukup sulit dikelola [12]. Memang benar persawahan dapat dibuka di sekitar area pesisir tapi tidak begitu banyak produksi beras yang dihasilkan, disamping kondisi lingkungan tanah yang memiliki tingkat salinitas tinggi juga resiko lainnya yang semakin menghambat perkembangan persawahan tradisional di daerah pesisir utara jawa.
Pantai utara Jawa dalam catatan sejarah tidak pernah berhasil menjadi kebudayaan pertanian yang setara dengan daerah pedalaman. Hal ini tentu saja ketika itu lokasi pesisir masih terjangkit wabah Malaria dan rentan diserang musuh dari laut lepas. Setelah peradaban di pedalaman Jawa berkembang dan meluas, mulailah tampak pengaruhnya di area pesisir. Faktor ekonomi melalui perdagangan di Laut Jawa barangkali menjadi faktor utama pesisir sempat mencapai puncak perkembangan peradaban. Meskipun dalam waktu tertentu, peradaban di pedalaman mampu menguasai kota-kota pelabuhan, tetapi tidak dapat memperkokoh kekuasaannya dengan hanya menopang kebudayaan pertanian melalui ekonomi sawah sebagaimana berhasil diterapkan di pedalaman.
Keberhasilan budaya pertanian mungkin terjadi di kota pelabuhan Demak dan Cirebon tetapi hanya sesaat dan kembali lagi ke pusatnya di pedalaman Jawa. Ketika Belanda tiba pada abad ke 17 hingga 300 tahun kemudian terjadi pergeseran peradaban ke arah pantai dimulai dan kota-kota pelabuhan besar telah menjadi Islam sehingga mengakibatkan pedalaman sepenuhnya bergerak di bidang perdagangan. Walaupun pesisir sudah muncul peradaban tetapi jarang penduduk, kebudayaan pusat pertanian di tanah Jawa masih tetap berada di pedalaman, di daerah Mataram Kuno, hingga sekarang [13].
Bersama surat dari Jan Pieterszoon Coen, dituliskan bahwa kesultanan Mataram Islam yang berkedudukan di pedalaman Jawa terdapat tempat yang padat penduduk dengan hamparan sawah-sawah padi yang penuh sesak dengan tumpang sari tanaman lain. Bisa dibilang dahulu, semua beras yang ada di sepanjang pantai Jawa, kemudian diangkut ke Maluku, Johor, Ambon dan Banda, adalah beras dari Mataram [14].
*disarikan dari buku Agricultural Involution: The Processes of Ecological Change in Indonesia, oleh Clifford Geertz. Berkeley and Los Angeles, California: University of California Press, 1963.
Catatan
[1] Distribusi persebaran ladang muncul dari peninjauan biasa; perbandingan sawah diperhitungkan dari Buku Statistik Indonesia, hlm. 46–49.
[2] Mohr 1946.
[3] Karya mengenai geografi Indonesia meliputi Dobby 1954 dan Robequain 1954. Untuk Jawa, Lekkerkerker 1938, 1, 13–90, dan Veth 1912, Jilid II.
[4] Peninjauan sosial ekonomis dari zaman Hindu ke alam Jawa oleh Schrieke 1957, hlm. 102–104, 288–301. Juga spekulasi sejarah pertanian Jawa oleh Terra 1958 dan Bernet Kempers 1959.
[5] Pengaruh sungai bagi irigasi bisa merujuk van der Meulen 1949–1950, juga Dobby 1954, hlm. 47–60, 225.
[6] Mohr 1946.
[7] Clarke 1954, hlm. 20, dalam faktor yang mula-mula menghentikan pertumbuhan dan penyebaran.
[8] Mohr 1946.
[9] Terra 1958.
[10] Terra 1958 dan van der Meulen 1949–1950.
[11] diperoleh dari Landbouwatlas van Java en Madoera 1926, I, hlm. 1–55. Dan lihat juga Raka 1955, hlm. 28.
[12] Terra 1958.
[13] Schrieke 1955, hlm. 265.
[14] Schrieke 1955, hlm. 267. Mataram Islam abad ke-17, bukan Matarm Hindu abad ke-8.