Jejak Perjalanan Covarrubias: Menyingkap Tradisi Tani Masyarakat Bali Tahun 1930-an

Nawamharrun
12 min readMar 30, 2021

--

Areal persawahan di Bali dengan pemandangan Gunung Agung (dok: semes7a)

Menurut pinutur, masyarakat Bali asli awalnya hanya punya air gula tebu sebagai makanan. Karena kasihan, Sang Wisnu, Dewa Kesuburan Pria dan Air, datang ke Bumi dalam bentuk penyamaran untuk menyediakan makanan yang lebih baik. Dia menyetubuhi Ibu Bumi yang enggan, kemudian membuahinya dan melahirkan beras, yang dikenal sebagai Sang Hyang Ibu Pertiwi. Kemudian Sang Wisnu berperang dengan Sang Indra, Penguasa Surga, agar Ia mau mengajari pria di Bumi cara menanam padi. Demikian, Dewa-Dewa memberi hadiah berupa beras sebagai sumber kehidupan dan kesejahteraan bagi masyarakat Bali. Beras lahir dari penyatuan kosmik antara energi kreasi pria dan wanita dalam representasi Air dan Bumi.

Pemandangan matahari terbenam di Tabanan dan terbit di sekitar Gunung Agung (Dok: Covarrubias 1937)

Selain varietas padi putih (bras), ada juga merah (gaga), dan hitam (injin). Masyarakat Bali meyakini varietas padi tersebut adalah simbol hubungan antara warna dan arah yang disediakan oleh Sanghyang Kesuhum Kidul (Brahma), Pelindung Selatan, yang mengirim empat burung merpati yang membawa benih padi dalam empat warna: putih, merah, kuning, dan hitam. Karena tidak ada beras yang berwarna kuning, warna kuning dianggap sebagai kunyit, sebagai rempah-rempah utama.

Masyarakat miskin yang tinggal di tempat sedikit air, hidupnya hanya dengan jagung dan ubi, yang dianggap lebih rendah dari beras, sebagai transformasi pelayan pria dan wanita bagi Dewi Sri, istri Wisnu, Dewi Pertanian, Kesuburan, dan Kesuksesan. Bagi masyarakat Bali, Dewi Sri adalah representasi semua hal yang baik dan indah. Dia ditempatkan di atas Dewi Melanting, Dewi Benih dan Tanaman, yang mana merupakan saudara perempuan Dewi Sri, juga merupakan Dewi Kebun dan Pasar. Dewi Melanting menghabiskan setengah tahun di atas Bumi dan sisanya di dalam Bumi.

Sejak masyarakat Bali memenuhi jiwa dan tubuhnya dari beras, mereka sangat takzim dan hormat terhadap seluruh aktivitas yang berkaitan dengan beras dan kemudian berkembang menjadi pemujaan. Ada sebuah ritual panjang untuk membuat padi tumbuh besar dan kuat, atau agar air selalu tersedia, atau mencegah dari gangguan dan kehilangan hasil panen oleh pencuri, burung dan tikus. Dari waktu tanam hingga panen, pertumbuhan padi diamati sebagaimana tumbuhnya seorang anak kecil. Masyarakat Bali adalah seorang petani padi paling sukses di seluruh kepulauan Nusantara pada waktu itu. Mereka menanam padi dua tahun sekali dengan hasil panen yang bisa memenuhi kebutuhan pangan secara subsisten bagi seluruh populasi penduduk Bali kala itu dan seringkali ketika hasil panen berlebih, mereka menjualnya ke luar Bali. Bahkan ahli pertanian sekalipun mengatakan metode pertanian modern tidak mampu menyaingi praktik pertanian padi masyarakat Bali, hal ini didukung pula oleh etos kerja masyarakat Bali, gaya hidup komunal, lingkungan pertanian yang gotong-royong, dan sistem pemilihan benih yang arif.

Terasiring areal persawahan di Bali (Dok: Covarrubias 1937)

Elemen yang paling mencolok dari lanskap Bali adalah sawah, sepetak tanah berisi air tergenang dari tanggul berpadu dengan tanah berwarna merah. Tiap bagian tanah yang terjangkau oleh manusia dialirkan air, bahkan di ketinggian gunung sekalipun akan dimanfaatkan oleh masyarakat Bali menjadi sawah. Mereka membuat sebuah teras pasang surut, membentuk seperti tangga raksasa yang menutupi perbukitan luas dan tersebar di lereng dan daratan. Ketika sawah itu dialiri oleh air, tampak seperti mosaik cermin yang memantulkan awan. Setelah itu, mereka menyemai bilah-bilah padi siap tanam di seluruh bagian atas tanah tergenang berwarna cokelat. Ketika tumbuh, sawah tampak seperti karpet kuning-kehijauan yang lembut kemudian berubah menjadi keemasan ketika bulir mulai matang, hingga akhirnya menyisakan tanah berlumpur kering dan pecah setelah panen. Lanskap sawah di pulau Bali selalu berubah secara berkesinambungan, baik ketika mulai masa tanam atau masa panen, sampai-sampai sulit sekali membedakan lanskap tersebut.

Pembajakan sawah menggunakan sapi (Dok: Covarrubias 1937)

Sistem Kelompok Sosial dalam Subak

Topografi pulau Bali yang berbukit dan bergunung, dikelilingi oleh jurang yang dalam, membuat praktik irigasi cukup sulit. Air dialirkan dari sumber mata air pegunungan ke berbagai tingkat lahan pertanian dengan sistem kanal yang rumit, baik melalui bendungan, pipa bambu, dan bahkan terowongan panjang yang menembus bongkahan batu padat, menuju tanggul sawah sehingga bisa digenangi atau dikeringkan sesuka hati.

Petani Bali tidak bisa mengatur irigasi sendiri, mereka berorganisir membentuk subak, kelompok tani gotong-royong di Bali, untuk mengatur distribusi air ke seluruh anggota. Tujuan dari subak adalah memberikan jaminan kepada petani kecil agar bisa memperoleh cukup air, mengawasi bendungan secara efektif sehingga orang bukan anggota tidak bisa semena-mena mengalihkan pasokan air, menyelesaikan perselisihan internal anggota petani, dan menghadiri perayaan panen raya. Di Desa, masyarakat memegang peran penting terkait kewenangan sosial, teknis dan administratif dalam seluruh aspek yang menyangkut irigasi dan pertanian.

Bebek Bali sedang bermain di areal persawahan padi (Dok: Covarrubias 1937)

Subak dipimpin oleh Kepala Desa terpilih, kliang dan penyarikan subak, serta asisten pembantu (pangliman). Kepala subak membuka dan memimpin pertemuan, memastikan keputusan dan aturan dijalankan, memberlakukan denda dan sanksi, serta bertindak sebagai bendahara kelompok. Mereka menyimpan catatan tertulis mulai dari nama anggota, seluruh transaksi dan proses kegiatan. Jabatan subak tidak memperoleh upah, tetapi mereka memperoleh hak istimewa seperti tambahan air dan pengurangan nilai iuran atau denda. Setiap orang yang memiliki sawah harus ikut subak dan menjalankan setiap peraturan masing-masing subak. Anggota subak bisa saja tidak ikut dalam aktivitas rutin, tetapi ketika ada kegiatan penting seperti pembuatan bendungan atau perbaikan irigasi, mereka wajib hadir atau bisa juga dengan membayar orang lain untuk menggantikan mereka.

Sebulan sekali, atau lebih sering jika perlu, pertemuan diadakan di pura subak, pura kecil yang dibangun di tengah sawah untuk memuja Dewa Pertanian. Anggota subak wajib hadir, jika tidak akan dikenakan denda. Ketika semua anggota berkumpul, ketua subak mulai membacakan daftar kegiatan, menyampaikan perbaikan apa saja yang akan dilakukan, melaporkan hubungan sosial masyarakarat dengan pejabat desa dan subak lainnya, dan melaporkan hasil uang yang diterima dari denda dan biaya yang dihabiskan untuk pembelian materi, persembahan dan lainnya. Keputusan penting diambil melalui suara terbanyak. Ketika semua topik selesai, ketua subak menutup pertemuan hari itu, dan melanjutkannya dengan obrolan ringan sambil menikmati sajian tembakau, sirih dan minuman lokal. Jika subak itu makmur, biasanya ada perjamuan makan bersama.

Seperti perkumpulan di Bali lainnya, subak bersifat komunal, semua anggota wajiib mematuhi aturan bersama. Masing-masing anggota punya pembagian tugas terkait pengaturan pasokan air. Ketentuan tertentu dibuat untuk mencegah anggota memiliki tanah yang lebih luas dibanding masyarakat lainnya. Semua anggota harus memiliki akses terhadap tanah yang adil. Jika ada anggota yang memiliki tanah lebih luas, mereka harus membaginya dengan orang-orang yang ditunjuk secara bersama untuk membantu mengelola lahan tersebut.

Tradisi Masyarakat Bali dalam Menanam Padi

Sebelum memulai aktivitas di sawah, para kliang, pemangku dan empat atau lima anggota subak pergi ke sumber mata air suci seperti Danau Batur atau Besakih di Gunung Agung. Mereka membawa persembahan untuk Dewa Danau atau Dewa Mata Air Suci. Sebagian air dibawa pulang kembali di dalam wadah bambu (sujang) yang dibungkus kain dan digantung dengan untaian kepeng (mata uang China), diikat dengan daun andong merah dan hijau berbintik pada bagian atasnya untuk hiasan.

Sekembalinya dari sumber mata air suci, sujang disimpan di atas pura subak. Mereka percaya bahwa Dewa Mata Air Suci bersemayam di dalam sujang tersebut. Kemudian mereka mengadakan upacara sederhana sebagai penghormatan. Para anggota subak akan menari kecil dan membakar dupa. Kemudian sebagaian air suci sujang dituang ke dalam Sawah dan sisanya dituang ke dalam saluran irigasi agar seluruh sawah memperoleh manfaatnya. Setelah upacara selesai, mereka memulai aktivitas di sawah. Air mulai membanjiri tanah yang kering, dan semua anggota subak bertemu kembali untuk bersumpah tidak mencuri satu sama lain. Tanah dibersihkan dari rumput liar sebagai persembahan kepada roh-roh jahat, kemudian mengadakan sabung ayam untuk memuaskan hasrat roh jahat terhadap darah.

Ilustrasi alat pertanian di Bali (Covarrubias 1937)

Ketika memasuki waktu tanam, tanah dibajak berulang kali, kemudian digaru agar rumput liar dan jerami sisa panen sebelumnya menyatu dengan tanah sebagai pupuk. Di beberapa tempat, aktivitas pembajakan sawah diramaikan melalui pagelaran pacuan sapi jantan (megrumbungan). Namun, perlombaan pacuan ini sangat jarang dilaksanakan saat itu karena biaya yang dikeluarkan cukup mahal, tetapi masih terlihat di sebagian wilayah di Bali Utara karena mayoritas petani kaya. Masyarakat Bali mempercayai pagelaran pacuan ini akan menyenangkan para Dewa dan mengharapkan hasil panen yang berlimpah.

Perayaan pacuan sapi jantan sebelum masa tanam padi (Dok: Covarrubias 1937).

Perlombaan diadakan di sawah yang berada di antara kedua tim lawan menggunakan sapi jantan yang dilatih khusus. Sapi dipasang mahkota pada bagian kepala dan tengkuk sebagai ornamen dari kulit, emas dan sutra. Lonceng kayu yang sangat besar dipasang pada bagian leher. Masyarakat memasang taruhan ketika pengendara pacu sudah berada di atas garu yang dikaitkan ke sapi jantan. Ketika wasit memberi sinyal, pengendara bergegas memacu sapi jantan mereka secepat mungkin menuju garis akhir. Pengendara akan berteriak keras sambil mencambuk sapi agar berlari kencang melintasi tanah berlumpur. Seringkali sapi tampak terlihat gagah dan anggun ketika berlari kencang. Kepala mereka terangkat tinggi dengan suara keras lonceng yang semakin menambah kegagahan. Sebetulnya, penilaian tidak hanya berdasarkan siapa yang paling cepat menuju garis akhir, tetapi juga berdasarkan nilai keindahan si pengendara dan sapi ketika pacuan.

Setelah perlombaan pacuan sapi, ladang telah disiapkan, dan benih padi yang diperoleh dari malai terbesar dan terindah mulai direndam selama dua hari dua malam, kemudian disebar di atas alas daun pisang dan disiram dengan air hingga benih terlihat pecah. Petak pembibitan disiapkan di sudut sawah, kemudian benih ditanam pada hari yang ditentukan oleh kalender adat. Masa pembibitan berlangsung selama dua bulan. Setelah itu, bibit dicabut, dicuci, dipangkas, dan diikat dengan tali jerami dan diletakkan di atas tanah selama satu malam sebelum ditanam keesokan harinya. Esoknya, sawah sudah bersih dan siap untuk ditanam. Sebelum itu, petani Bali membuat persembahan lagi (sujuk) kepada Dewi Sri. Kemudian petani pemilik lahan langsung terjun ke sawah dan menanam sebanyak sembilan bibit pertama dalam kelompok kecil di sudut paling atas petak sawah menghadap ke arah Gunung Agung. Urutan penanaman sembilan bibit pertama adalah sebagai berikut: pertama di titik pusat, kedua di sebelah kanan titik pusat, ketiga di bawah titik pusat, keempat di sebelah kiri titik pusat, kelima di atas titik pusat, keenam di sebelah kanan tunas kelima, ketujuh di bawah tunas kedua, kedelapan di bawah tunas keempat, dan kesembilan di pojok paling kiri atas.

Urutan penanaman sembilan bibit padi awal (Dok: Covarrubias 1937)

Penanaman ini merepresentasikan Nawa Sangga, arah mata Mawar Angin di masyarakat Bali (pengider-ideran).

Ilsutrasi Nawa Sangga (Dok: Covarrubias 1937)

Prinsipnya sama seperti arah mata angin secara umum, yakni Utara, Selatan, Timur, dan Barat. Tetapi bedanya adalah arah Utara atau bagian atas selalu menghadap ke arah gunung Agung atau gunung besar setempat, dinamakan kaja, sedangkan klod, arah selatan atau selalu menghadap ke arah laut.

Petani Bali menanam bibit padi di sawah (Dok: Covarrubias 1937)

Setelah sembilan bibit padi utama ditanam, sisa bibit lainnya ditanam di seluruh petak sawah. Bibit ditancapkan ke dalam lumpur dalam barisan dengan jarak satu jengkal tangan. Seringkali pemilik sawah mengadakan perayaan ketika menanam untuk mendatangkan keberuntungan. Ketika padi mulai hijau dan tunas malai muncul, petani semakin sibuk merawat padi tersebut. Mereka harus menyiang gulma dan menyediakan air yang cukup. Persembahan (sayut sarwa genep) dibuat untuk melindungi padi dari serangan ulat. Setelah 42 hari kemudian, persembahan (dedinan) dibuat lebih banyak untuk merayakan hari makan besar. Sekitar tiga bulan kemudian, bulir padi mulai terlihat, dan dianggap oleh petani Bali, padi sedang mengandung dan seperti halnya ibu yang sedang mengandung anak, padi juga membutuhkan makanan yang asam untuk memenuhi rasa ngidamnya, sehingga beberapa persembahan kemudian terdiri dari buah, telur dan bunga. Rangkaian peraga mirip Ibu (cili), terbuat dari daun lontar, juga terdapat bentuk alat kelamin pria, dipersembahkan sembari mengucapkan mantra sebanyak tiga kali:

“Pst, pst, lihat wanita dengan testis ini (Psu, psu, jero, m’baleh loh mabutoh)”

Peraga cili (Dok: Covarrubias 1937)

Entah bagaimana, petani Bali percaya sesembahan tersebut membantunya dalam menghamili padi. Tiga bulan setelah hari makan besar adalah perayaan hari makan besar lainnya yang dinamakan mebijukung. Pada saat ini, bulir padi telah muncul di seluruh sawah, dan genangan air mulai disurutkan sehingga bulir padi bisa matang dengan cepat.

Pada saat ini juga, hama burung dan tikus mulai jadi ancaman yang serius. Untuk menakuti burung, seluruh area persawahan ditutup dengan jaring tali-temali yang digantung dengan daun lontar dan juga benda menjuntai lainnya (kemudian ditutup dengan kain), digerakkan melalui tali oleh anak laki-laki yang bertugas mengawasi area persawahan secara terus menerus dari tempat yang tinggi. Orang-orangan sawah seukuran asli manusia juga diletakkan di tengah sawah, tetapi kurang efektif untuk mengusir burung. Selain itu, penjaga sawah akan mengelilingi sawah sambil menabuh genderang bambu dan meniup seruling bambu dengan keras. Jika sawah dipenuhi tikus, masyarakat Bali biasanya ramai-ramai turun ke sawah untuk menangkap dan membunuhnya, tetapi sepasang tikus disisihkan dan dilepaskan kembali sebagai penebusan atas pembunuhan tersebut. Tikus yang tertangkap akan dibakar sebagaimana proses kremasi untuk orang mati. Jika ada orang yang mencuri padi di sawah, pemiliknya akan membawa makanan ke sawah dan meninggalkannya di sana, sambil berkata:

“Siapapun yang mencuri padi saya, biarkan dia kembali dan puas dengan makanan ini. Saya berdoa agar bulir padi saya bertambah banyak sehingga saya akan mendapatkan kembali padi saya yang dicuri”.

Saat bulir padi matang, anggota subak bersiap untuk upacara panen raya (ng’usaba nini). Sabung ayam diadakan lagi di dekat pura subak, dan keesokan harinya dilaksanakan nyepi untuk persawahan, hari keheningan mutlak yang meniadakan segala aktivitas di sawah. Jika ada yang melanggar maka akan dikenakan denda. Dua hari sebelum panen, persembahan kecil diletakkan ke dalam saluran masuk irigasi berupa ranting pohon dapdap yang dihiasi dengan daun lontar, ditempatkan di tiap pojok sawah untuk menjauhkan roh jahat. Tahap selanjutnya, pembuatan peraga Ibu Padi (nini pantun), dua rumpun padi, satu jantan, satu betina, suami dan istri. Dua rumpun padi diikat menjadi satu dan kemudian diikat lagi ke dahan, dan ditancapkan ke tanah dekat saluran masuk irigasi utama. Kemudian pemanenan padi dilanjukan.

Di Bali, hanya kaum pria yang menanam dan pergi ke sawah, tetapi wanita dan anak-anak biasanya ikut membantu ketika panen. Semua mengenakan kain penutup tebal dan topi lebar dari bambu untuk melindungi dari sengatan matahari. Batang padi dipotong satu per satu, kemudian diikat menjadi kumpulan padi yang besar. Ketika semua padi telah dipotong, peraga Ibu Padi (nini pantun) dikenakan baju berwarna putih dengan celemek kecil (lamak) dan selendang sutra. Hiasan kepala diwakili oleh ujung tangkai, dihiasi dengan bunga dan potongan daun kelapa dalam bentuk kipas. Biasanya menyerupai wajah manusia yang digambar pada selembar daun berbentuk hati.

Ilustrasi peraga Ibu Padi atau Nini Pantun (Dok: Covarrubias 1937)

Ketika upacara panen raya di Ubud, peraga Ibu Padi dikumpulkan ke pura kecil di tengah sawah, dihias untuk panen raya dengan panji-panji (penyor), dari tiang bambu besar yang digantung dengan ornamen dari daun kelapa, dengan lamak yang indah, potongan daun kuning kelapa muda atau aren disatukan dengan pola halus untuk melambangkan bulan, gadis-gadis bergaya, pepohonan, dan lainnya, yang dipotong dari daun kelapa matang, berwarna hijau tua dengan latar belakang kuning terang.

Gadis Bali sedang menumbuk gabah di Sanur (Dok: Covarrubias 1937)

Kerumunan masyarakat jalan beriringan sambil memainkan musik menuju pura desa dalam prosesi upacara panen raya. Para wanita membawa persembahan dan peraga Ibu Padi di atas kepala mereka. Para pria mengenakan topi tenun dari daun kelapa, dihiasi dengan bunga dan pakis. Pawai berhenti di depan pura desa, bertemu dengan penjaga pura untuk mendoakan Ibu Padi agar diberkati oleh Dewa. Upacara ini disebut mendak nini, mengembalikan Ibu. Setiap keluarga akan membawa peraga Ibu Padi yang kemudian disimpan di dalam lumbung di atas singgasana kayu khusus. Mereka meletakkannya disana sampai dimakan oleh tikus. Masyarakat Bali dilarang mengambil atau memakan beras yang ada pada peraga Ibu Padi karena akan dianggap serendah anjing jika melakukannya. Setelah upacara selesai, sebagian gabah di bawa pulang untuk disimpan di dalam lumbung masing-masing keluarga hingga dibutuhkan.

Pengeringan gabah menggunakan tiang bambu dengan tutup kerucut (Dok: Covarrubias 1937)

Lumbung padi, disebut juga glebeg, jinan, klumpu atau klimking sesuai ukuran dan bentuknya, memiliki arti sebagai pertanda status ekonomi suatu keluarga. Lumbung biasanya berukuran tinggi dengan atap dari ilalang yang curam dan panjang menyerupai rumah ubi Melanesia. Bangunan lumbung ditopang oleh empat tiang kayu dengan bagian atas kaki yang melebar untuk mencegah tikus memanjat. Tradisi masyrakat Bali mewajibkan penanganan terkait gabah harus dilakukan sebaik dan sehormat mungkin. Jika ingin diambil, harus dalam kondisi hening dan di siang hari. Orang yang naik ke atas lumbung harus dalam kondisi sehat jasmani dan rohani serta tidak boleh mengunyah buah pinang.

Ilustrasi lumbung padi di Bali (Dok: Covarrubias 1937)

Rujukan Utama
Covarrubias, Miguel. 1937. Island of Bali, 1st ed. US: Knopf, Inc.

--

--

Nawamharrun
Nawamharrun

Written by Nawamharrun

Indigenous Ecological Knowledge

No responses yet