Jejak Perjalanan Covarrubias: Makna Karsa & Jahtera Bagi Masyarakat Bali Tahun 1930-an
Di Bali, kita akan melihat seorang wanita mengangkut dan memecahkan batu untuk membuat jalan, atau melihat pria di pasar di Denpasar sedang duduk di depan mesin jahit untuk membuat kemeja perempuan, tetapi tidak ditemukan wanita yang melukis atau memanjat pohon kelapa. Pria akan tidak dihargai ketika melihat pekerjaannya tidak sesempurna pekerjaan wanita.
Pengalokasian tenaga kerja didasarkan pada status gender. Semua pekerjaan berat seperti pertanian, konstruksi bangunan, peternakan, kemudian perdagangan dan kerajinan seperti pertukangan kayu, ukiran kayu atau batu, melukis, menulis, memainkan alat musik, dilakukan oleh kaum pria. Wanita biasanya memelihara ternak ayam dan babi, tetapi hanya pria yang boleh memelihara ternak sapi, kerbau dan bebek. Karena pria Bali tidak suka bekerja untuk mendapatkan upah, wanita Bali dari kasta rendah seringkali bekerja sebagai kuli untuk mengangkut bahan bangunan, membawa kelapa untuk dijual ke orang Tionghoa untuk membuat kopra, mengantarkan uang, atau mengambil karang yang pecah di pesisir pantai untuk dibuat kapur.
Tugas rumah tangga seperti mengambil air, menumbuk beras, membuat tepung, menganyam, dan membuat sesembahan di rumah, dilakukan oleh kaum wanita. Tetapi, untuk masalah pendidikan anak, kaum pria juga turut andil dan sangat membanggakan anak-anak mereka. Makanan dimasak oleh kaum wanita, tetapi pria juga bisa membantu hanya ketika menyiapkan hidangan dari babi dan penyu untuk jamuan makan. Untuk nasi, baik wanita atau pria boleh melakukannya. Ketika panen padi, kaum wanita membantu di sawah untuk membawa hasil panen dengan cara diangkut di kepala. Ada aturan bahwa kaum wanita hanya boleh membawa barang di atas kepalanya sedangkan, kaum wanita di atas pundaknya, kecuali untuk persembahan dan benda-benda suci yang harus diletakkan di atas kepala mereka.
Anak-anak juga membantu orang tua mereka bekerja sehari-hari. Anak laki-laki merawat ternak bebek dan sapi, menyiangi sawah, sedangkan anak perempuan akan membantu ibunya membawa barang, memasak, menenun, atau berjualan di pasar. Aktivitias kaum wanita akan meningkat seiring dengan bertambahnya usia.
Biasanya kaum pria tua akan berkumpul di bale banjar mendiskusikan banyak hal, mengunyah sirih, dan meminum tuak. Mereka juga berbagi tugas dan peran dalam masyarakat seperti asosiasi desa, pendeta, dukun, pendongeng, dan tentu saja guru, budayawan dan seniman. Para orang tua sering menjadi penggembala bebek, membimbing kawanan bebek ke ladang dan kembali pulang.
Dahulu, pementasan seni drama hanya dibatasi oleh kaum pria, walaupun wanita yang lebih tua juga bisa ikut sebagai penari dalam upacara tersebut. Sekarang nampaknya gadis-gadis muda juga punya peran besar dalam pementasan seni drama. Wanita Bali punya hak yang pasti. Pendapatan yang mereka peroleh dari penjualan ternak, hasil tenun atau kebun boleh disimpan oleh mereka sendiri tanpa sepengetahuan suami mereka. Kebanyakan wanita Bali tidak hanya mandiri secara ekonomi tapi juga berkontribusi besar dalam pengeluaran rumah tangga. Hutang milik wanita Bali adalah kewajiban mereka sendiri dan suaminya tidak bertanggung jawab atas hutang tersebut. Para wanita Bali handal dalam menjaga pengeluaran keluarga dan biasanya dijadikan sebagai pengatur keuangan di pasar tradisional Bali.
Aktivitas Makan Sehari-Hari
Makanan sehari-hari masyarakat Bali sangat sederhana. Gundukan nasi dingin dengan garam dan cabai sudah cukup untuk mencukupi kebutuhan jiwa dan raga. Makanan sehari-hari keluarga bangsawan adalah nasi putih dingin, dengan lauk sayuran yang dipotong bersama bumbu rempah, aromatik, kelapa parut, dan cabai pedas. Wanita Bali biasanya yang memasak, menyiapkan nasi, mengikis kelapa menggunakan pelepah lontar berduri, mencincang bahan untuk membuat kuah, dan menggorengnya dengan minyak kelapa dalam wajan besi penggorengan. Beberapa menu nasi sehari-hari dikukus dalam panci tanah liat. Mereka mencuci biji-bijian berulang kali sampai air cucian berwarna jernih, kemudian merebusnya sebentar, dan setelah matang, mereka memasukannya ke dalam keranjang berbentuk corong kukus yang ditutup dengan penutup dari tanah liat (kekeb), dan dikukus di atas panci (dangdang) berisi air mendidih. Selama memasak, biasanya air yang mendidih disiramkan di atas nasi dengan sendok batok kelapa agar tidak mengering dan menempel. Hasilnya adalah nasi kering yang nikmat dan pulen. Makanan disiapkan dengan bersih, semua alat makan dicuci dulu, dan makanan ditutup dengan daun pisang bujur sangkar hingga dimakan.
Setelah nasi habis, mereka menyiapkan nampan sesaji (ngejot) untuk roh penjaga rumah, daun pisang bujur sangkar kecil terdiri dari beberapa butir beras, sekuntum bunga, garam dan sejumput cabai. Ngejot diletakkan di depan rumah, pintu masuk pura keluarga, depan kamar tidur, depan pelataran, dan di pintu gerbang.
Tidak ada jam makan yang pasti dan masyarakat makan ketika mereka lapar. Sebelum siang hari, para pria kembali dari pekerjaan mereka setelah mandi di mata air atau sungai dan duduk santai di dekat dapur, memunggungi satu sama lain dengan diam karena orang yang makan tidak boleh diajak bicara. Masing-masing akan memperoleh porsi nasi dengan sambal pelengkap dalam selembar daun pisang yang dipegang lekukan tangan kiri sedangkan tangan kanan berfungsi mengambil makanan. Masyarakat Bali tidak menggunakan piring dari selembar daun pisang. Setelah selesai, dan tersebut dilempar ke babi, tidak ada piring yang tersisa untuk dicuci. Setelah makan, sebuah kendi berisi air diedarkan. Masing-masing minum secara bergantian dengan menuangnya langsung ke dalam mulut. Bibir mereka tidak pernah menyentuh lubang keluar kendi. Mulut dan jari dibilas, dan setelah dirasa kenyang, para pria akan tidur siang atau pergi ke bale banjar untuk mengobrol sebelum melanjutkan pekerjaan. Para wanita makan setelah para pria selesai makan, kemudian setelah itu para wanita memberi makan babi, kemudian melanjutkan aktivitas menenun, menumbuk beras atau aktivitas sosial lainnya.
Tingkat Perekonomian
Karena sebagian besar mata pencaharian masyarakat Bali adalah petani, permaslaahn kepemilikan tanah menjadi sangat penting. Bali telah menjadi model sebuah masyarakat dimana komunalisme agraria mengakar kuat dan terus eksis bersamaan dengan feodalisme para tuan tanah yang mulia. Desa di Bali sebetulnya adalah unit ekonomi dan sosial yang mandiri, diperintah oleh dewan penduduk desa dengan hak suara yang sama untuk semua masyarakat, dan kepemilikan tanah tentu dibatasi oleh peraturan adat desa. Tanah diolah secara komunal untuk mempertahankan upacara perayaan desa, dan bahkan tanah tempat rumah berdiri adalah milik desa yang dapat diklaim kembali jika penyewa menyalahgunakan hak istimewanya. Karena kepercayaan bahwa tanah dan hasil bumi nya milik Dewa Leluhur, gagasan tentang kepemilikan tanah bersifat mutlak milik para Dewa dan tidak berakar kuat di kalangan masyarakat Bali.
Melalui kelompok kooperatif dalam masyarakat Bali, banjar dan subak, mereka berhasil memegang kedaulatan otonom atas pengaturan daerah mereka sendiri dari supremasi pemerintahan Hinda Belanda. Namun, sistem komunal seperti ini sangat rentan di wilayah feodal dimana para pemangku kerajaan berkuasa, tanah-tanah komunal seringkali menjadi bagian dari tanah milik kerajaan, kemudian mereka hibahkan kepada pengikut mereka sebagai ganti atas persembahan, dan secara bertahap kepemilikan tanah di desa menjadi semakin individualistis yang mengembangkan kelas sosial pemilik tanah kecil yang terorganisir. Tanah desa tidak dapat dilepas secara resmi, tetapi sawah sering digadaikan ketika sangat membutuhkan uang tunai. Namun, tanah di Bali tidak pernah menjadi komoditas, dan saat ini petani dilindungi sampai batas tertentu oleh aturan yang disahkan oleh pemerintah Hindia Belanda.
Kesenjangan ekonomi di Bali tidak begitu mencolok seperti tempat lain. Sampai saat ini hampir semua orang mengenakan pakaian yang sama, semuanya bertelanjang kaki dan tinggal di rumah jerami. Sekilas mereka terlihat bahagia dan sejahtera. Mayoritas masyarakat memiliki rumah beratap, makanan yang cukup dan beberapa uang yang disimpan di bawah lantai tanah tempat tidur. Namun, ada juga masyarakat sangat miskin dan juga sangat kaya. Ada mayarakat yang tidak punya tanah dan rumah sendiri, menjalani hidup sebagai budak, di sisa-sisa feodalisme, mereka terikat pada tuan rumah dan memakan apapun yang diberikan. Keluarga kaya adalah mereka yang punya sawah, rumah berpintu gerang dari batu terukir, lumbung padi besar, kuil keluarga dengan ornamen, dan paviliun yang dibangun dengan baik untuk para tamu. Mereka juga memiliki beberapa helai kain sutra halus yang disimpan, serta pusaka dalam bentuk perhiasan emas, keris dengan sarung bergagang emas, berbatu mulia dan sejumlah bejana perak atau emas, yang semuanya dapat digadaikan sewaktu-waktu.
Pada umumnya masyarakat Bali tidak terlalu membutuhkan uang tunai untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Biasanya biaya hidup mereka sangat rendah dan makanan serta kebutuhan tempat tinggal dapat dicukupkan oleh masyarakat Bali sendiri secara subsisten. Makan ditempat umum mungkin jarang ditemui kecuali ketika berpergian jauh. Buah dan sayuran ditanam di kebun yang berdampingan dengan rumah. Ternak babi, ayam dan bebek juga dipelihara di pekarangan rumah untuk disembelih pada acara-acara khusus atau untuk persembahan yang dimakan sendiri oleh masyarakat setelah para Dewa mengkonsumsi sari pati tersebut. Bahan bakar dapur biasanya berasal dari daun-daun kering yang jatuh dan batang pohon kelapa.
Masalah di rumah tangga masyarakat Bali sangat sederhana. Seluruh keluarga tinggal bersama di kompleks leluhur dan sebuah rumah sederhana dapat dibangun hampir dalam semalam yang terdiri dari bambu dan ilalang dengan biaya yang sangat rendah. Masyarakat yang tidak punya rumah biasanya tinggal dengan kerabat, dengan biaya yang rendah seperti membantu pekerjaan rumah. Selain itu mereka juga bisa memperoleh tanah dari desa dan secara bertahap membangun rumah mereka sendiri. Pakaian sehari-hari yang dikenakan oleh masyarakat Bali terdiri dari kamben, sehelai kain dari kapas yang menutup dari pinggang sampai ke lutut atau lebih panjang, penutup kepala, dan kemeja tambahan yang lebih bervariasi. Satu potong pakaian biasanya dihargai sekitar dua gulden ($ 1.36 ketika itu): satu gulden untuk kamben, lima puluh sen untuk topi, dan sisanya untuk kemeja. Transportasi masyarakat Bali sebagian besar masih dilakukan dengan berjalan kaki.
Selalu menjadi misteri, bagaimana masyarakat Bali bisa mempunyai banyak uang untuk mengadakan upacara perayaan mewah dan pakaian yang indah. Padahal, masyarakat Bali tidak punya waktu kerja yang teratur untuk mendapatkan uang, dan mereka juga tidak tertarik dengan aktivitas berdagang di pasar untuk menambah penghasilan mereka. Kaum pria selalu sibuk di sawah, walaupun beras tidak dianggap sebagai sumber pendapatan tunai yang penting. Masyarakat Bali menanam padi untuk konsumsi pribadi dan persembahan. Mereka hanya menjual beras sisa dari musim panen kedua, yang mereka anggap tidak layak untuk dijadikan sesembahan kepada para Dewa.
Sumber pendapatan utama mereka adalah dari penjualan sapi dan babi, serta kelapa untuk membuat kopra. Sedangkan sumber kedua berasal dari kopi, beras, dan tembakau, yang biasanya dijual ke tengkulak Cina. Perdagangan dan kerajinan adalah sumber pendapatan tak menentu bagi masyarakat Bali. Di pasar Bali, akan terlihat orang-orang menjual tembikar, tikar, keranjang dan lainnya bersama dengan penjual sayur, ikan kering, rempah-rempah, dan bunga. Beberapa pengrajin, seperti pengrajin emas dan perak, pandai besi, tukang kayu, penenun aren, pembuat gerabah, memiliki pendapatan yang tetap, tapi mereka masih mengerjakannya secara mandiri. Kaum pria Bali bekerja tidak tetap dan sering berpindah-pindah. Di kota besar, mereka bekerja sebagai sopir, juru tulis, dan pelayan, posisi yang mereka anggap lebih tinggi. Dengan makin maraknya turis asing, masyarakat Bali bisa memperoleh uang tambahan dari penjualan patung, lukisan, kerajinan perak, tenun dan lainnya.
Kehidupan masyarakat Bali sejatinya dipandu oleh prinsip hidup dan pemberi kehidupan, para Dewa. Pemilik tanah biasanya membagikan hasil panen kepada orang lain yang tidak punya tanah dengan imbalan bantuan tenaga. Namun, ada juga organisasi buruh (seka mejukut) yang bekerja di lahan tuan tanah untuk memperoleh upah komunal. Mereka dibayar berdasarkan waktu kerja jam air (ganji), mirip dengan waktu yang dipakai ketika sabung ayam. Ganji terdiri dari setengah batok kelapa dengan lubang kecil di bagian bawah, kemudian diletakkan di baskom berisi air. Waktu ditentukan melalui berapa lamanya batok kelapa tenggelam. Biaya pemberian upah diatur oleh ketua kelompok organisasi.
Namun, pada saat ini di masa 1930an, keseimbangan ekonomi dalam masyarakat Bali telah menurun. Dengan adanya peningkatan jumlah pajak dan komoditas impor, harga produk buatan lokal untuk ekspor mengalami penurunan yang sangat rendah. Seluruh masyarakat Bali akhirnya dipaksa untuk menggunakan uang tunai, bukan lagi dalam bentuk kepeng (uang tunai Cina), tapi dalam bentuk uang gulden Belanda yang bernilai lima ratus kali kepeng. Tidak adanya permintaan terhadap produk buatan lokal juga semakin mempersulit keadaan perekonomian masyarakat Bali.
Masyarakat Bali semakin tergiur akan peradaban dari luar, seperti kain dari eropa, sepeda, senter, pewarna anilin, dan kendaraan. Tetapi, mereka sangat tergantung dengan utang kepada para pedagang Arab untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Jika tidak bisa membayar, maka pedagang Arab akan mengambil seluruh upah atau barang yang dimiliki oleh masyarakat Bali. Selain pajak untuk tiap kepala keluarga, ada juga pajak sawah (pajeg), dan pajak ladang yang ditanami pohon kelapa dan kopi (upeti).
Orang Bali semakin haus akan “keuntungan peradaban” berupa kain asing inferior, sepeda, senter, pewarna anilin, dan mobil-mobil, dan jika penghasilan mereka yang menyedihkan tidak diambil oleh para pedagang Arab itu hanya karena mereka sudah jatuh tempo untuk pajak kembali. Selain pajak untuk setiap rumah tangga, ada pajak sawah (pajeg) dan pajak (upeti) atas tanah kering dengan pohon kelapa dan kopi. Pajak yang paling dibenci adalah pajak yang dibayarkan setiap kali orang Bali membunuh babi, sekecil apapun, untuk itu dia membutuhkan sertifikat. Hal ini menyebabkan pembantaian secara sembunyi-sembunyi dan dengan itu berkurangnya pasokan babi, dan hadiah yang dijanjikan kepada para pengadu telah memperkenalkan elemen perselisihan ke dalam komunitas yang bersatu. Dr. Korn, pakar sosiologi Bali, mengatakan bahwa penduduk lebih memilih pajak ekspor sapi daripada pajak pemotongan yang merepotkan.
Dengan menguras kekayaan pulau yang tiada henti, kemiskinan juga meningkat dan orang Bali terancam kehilangan tanah mereka karena gagal membayar pajak. Mereka dipaksa untuk menjual apa pun yang berharga bagi mereka — barang antik, brokat halus, perhiasan, dan bahkan kepingan emas yang menghiasi keris mereka — kepada turis dan penimbun emas, sementara pencurian dan prostitusi sedang meningkat. Dikhawatirkan jika kondisi sekarang ini terus berlanjut, kehidupan masyarakat Bali yang sederhana dan teratur akan sangat terganggu dan kelembagaannya akan runtuh akibat keresahan sosial yang tak terhindarkan.
Rujukan Utama
Covarrubias, Miguel. 1937. Island of Bali, 1st ed. US: Knopf, Inc.