Dinamika Suksesi Alami pada Pertanian Sintropi

Nawamharrun
16 min readJul 30, 2022

--

Agroekosistem pertanian sintropi di lahan milik Ernst Götsch @AgendaGötsch

Teknik kedua dalam pertanian sintropi adalah suksesi alami spesies dalam agroekosistem yang berkaitan erat dengan stratifikasi hutan. Lebih dari 40 tahun, Ernst mempelajari hutan dan dinamikanya hingga menyusun konsep penting dalam prinsip stratifikasi.

Tiap spesies ketika mencapai fase dewasa akan memiliki karakteristik ukuran yang menjadi ciri khas spesies tersebut. Misalnya, spesies individu hutan yang tumbuh melebihi tinggi spesies lain disebut sebagai emergent atau ledakan. Dalam kasus ini, spesies ledakan di hutan Amazon antara lain pohon kacang Brasil (Bertholletia excelsa), samaúma (Ceiba pentandra), piquiá (Caryocar villosum), danda (Joannesia princeps); di hutan Atlantik ada pohon jequitibá (Cariniana legalis); di hutan bagian utara ada kelapa pantai (Cocos nucifera); di bagian selatan ada araucaria (Araucaria angustifolia) dan banyak spesies lainnya. Ernst mampu mengidentifikasi ke-11 strata atau lapisan (meskipun dia beranggapan bahwa strata hutan lebih dari yang diketahui sekarang) yang ada di bioma planet Bumi, dengan pengecualian bagian wilayah yang dekat dengan kutub.

Stratifikasi hutan dan persentase naungan di tiap strata.

Untuk membantu pemahaman, Ernst meringkas dinamika hutan ke dalam empat strata (emergent, tinggi, sedang, dan rendah), masing-masing strata tersebut memiliki persentase naungan yang berbeda sebagai hasil dari jumlah tutupan atau kelimpahan vegetasi yakni strata emergent 20%, tinggi 40%, sedang 60%, dan rendah 80%. Stratifikasi ini memungkinkan cahaya matahari menembus tutupan vegetasi dan mencapai lantai dasar hutan dimana strata rendah tumbuh. Jika menganalisis cahaya dalam sistem ini dari strata emergent, kita akan memperoleh kesimpulan bahwa tiap strata menerima sejumlah cahaya yang disaring oleh strata di atasnya, sehingga menciptakan lingkungan ideal bagi tiap tumbuhan. Dengan demikian, kita bisa menelusuri sejarah evolusi spesies dan menginvestigasi bagaimana asal muasal mereka. Ernst menunjukkan bahwa yang lebih penting dari persentase naungan yang sesuai bagi tiap strata adalah dinamika yang diberikan melalui pemangkasan, sebagaimana informasi pertumbuhan akan ditransmisikan ke seluruh sistem. Kita bisa mengetahui tutupan yang tepat di setiap strata, tapi jika tutupan tersebut tumbuh tanpa intervensi dari kita, kita tidak akan bisa memiliki informasi pertumbuhan yang dihasilkan oleh pemangkasan, sehingga informasi negatif dari pemasakan dan penuaan akan mencegah produksi buah, pertumbuhan jaringan dan suksesi alami hutan. Stratifikasi harus terjadi dari awal, ketika kita mulai siap menanam tumbuhan sayuran, dimana mereka termasuk ke dalam sistem plasenta yang melindungi dan menciptakan embrio pertanian sintropi di masa mendatang.

Gambar di bawah ini diciptakan oleh Ernst Götsch pada tahun 2018 dan menggambarkan evolusi agroekosistem melalui suksesi spesies. Tiap warna mengindikasikan fitofisiognomi yakni lanskap spesies dominan dalam sistem tersebut. Pada awalnya, kita memiliki plasenta 1 dan 2, ditanami dengan sayuran, umbi-umbian, kacang, singkong, nanas, dan pepaya. Jika kondisi tanahnya sangat buruk, kita bisa menanam tumbuhan jenis herba dan rumput, bersamaan dengan menanam biji atau benih pohon di semua strata dan jenjang siklus hidup.

Sistem evolusi dalam suksesi spesies. Diagram di atas mengindikasikan tumbuhan sintropi setelah 30 tahun perawatan di perkebunan Ernst Götsch di Hutan Atlantik, Bahia, Brasil.

Jika saat menanam kita tidak memiliki bibit siap tanam, kita bisa memangkas ranting pendek terlebih dahulu untuk membuka ruang penetrasi cahaya matahari. Gambar dibawah ini menunjukkan tiga bagian sistem dalam suksesi alami yakni kolonisasi, akumulasi, dan kelimpahan. Lingkaran diikuti garis tegak putus-putus (masing-masing garis bisa mencapai 100 dan 300 tahun). Dalam tiap fase perubahan, kita memiliki spesies yang dibutuhkan dalam aspek kesuburan untuk menggantikan spesies yang tidak dibutuhkan dari segi kuantitas dan kualitas kehidupan yang meningkat seiring dengan fungsi dua parameter utama: ketersediaan nutrisi dan kapasitas penyimpanan air.

Alur suksesi alami

Fase Plasenta

Dengan beragam tujuan penciptaan proses transformatif dan evolusioner, pengimplementasian dan pembentukan agroekosistem kompleks yang memiliki kepadatan varietas tumbuhan tingkat tinggi kemudian diikuti dengan prinsip genetik, kita bisa mengatakan bahwa informasi tiap individu baru hanya memanifestasi 1% dari keseluruhan sistem. Sehingga kebutuhan untuk menciptakan tumbuhan dalam jumlah yang lebih padat dilakukan melalui penanaman ratusan kali lebih banyak biji tumbuhan yang diinginkan, sehingga hanya 1% dari total keseluruhan yang beranjak fase dewasa. Dengan kata lain, jika kita menginginkan pohon kakao, nangka, kacang es krim dalam jarak tertentu, kita bisa menyemai ratusan biji masing-masing spesies tersebut di lokasi yang sama. Seiring pertumbuhan, kita bisa menyemai jenis tumbuhan lain yang tumbuh cepat dan memiliki siklus hidup hingga dua tahun seperti tumbuhan serealia, sayuran, penghasil pupuk hijau, buah seperti pepaya dan nanas. Kita menyebut tumbuhan yang memiliki siklus hidup hingga dua tahun sebagai plasenta. Tumbuhan ini ditanam dengan kepadatan berdasarkan siklus hidupnya. Ketika kita dihadapkan dengan kondisi tanah yang menurun, kehilangan resiliensinya, kemampuan tumbuhan plasenta dalam beregenerasi akan sangat terbatas, sedangkan kebanyakan sayuran dan serealia tumbuh di tanah pada sistem yang berlimpah. Dalam kasus ini, kita harus mencari tumbuhan yang mampu beradaptasi di lingkungan tandus yakni tumbuhan yang keberadaannya melimpah, tumbuh cepat, dan mendukung tanah yang kompak (dengan pH 4.5 dan ketersediaan air dan nutrisi rendah), seperti rumput afrika (Cynodon plectostachyus), daisy (Tithonia diversifolia), beberapa agavaceae, dan tumbuhan asli di lokasi tersebut.

Sistem Kolonisasi

Sistem ini ditandai dengan keberadaan awal kehidupan yang dekat dengan gunung vulkanik seperti gambar di bawah ini. Setelah lava mendingin, bentuk kehidupan pertama mulai muncul seperti bakteri, alga, cendawan, lichen, dan lumut. Dalam rangkaian ini, kolonisasi akan perlahan melandai naik dan turun, dimana tanah akan hilang dan digantikan oleh subtanah.

Tumbuhan ohia (Metrosideros polymorpha) yang mulai mengolonisasi tanah lahar setelah erupsi tahun 1960 di selatan Kona, Hawaii.

Sistem Akumulasi

Ketika kita membuka lahan hutan primer dengan pembakaran, kemudian selang beberapa tahun kita menanam di lahan bekas pembakaran tersebut, tanahnya akan menjadi miskin, rendah karbon, menjadi asam, tidak tersedia fosfat dan aluminium menjadi toksik bagi akar. Di tempat ini, spesies dari sistem akumulasi awal mulai muncul dan mendominasi. Tumbuhan yang mengandung karbon atau nitrogen tinggi, memiliki daun yang lebih tebal dan sebagian besar tidak berbuah. Banyak area yang terdegradasi pada fase ini.

Jika sistem ini masih belum kehilangan resiliensinya, alam akan meregenerasi, tapi tergantung pada tingkat kerusakannya. Proses regenerasi ini membutuhkan waktu bertahun-tahun, bahkan berabad-abad, untuk mencapai tingkat konsorsium dalam sistem yang berlimpah. Hari ini, di negara Brasil, jutaan hektar lahan hutan telah mengalami kehancuran dan kehilangan resiliensinya, seperti gambar di bawah ini, dimana kita bisa melihat padang rumput yang mulai muncul tumbuhan paku dan pohon sebagai tumbuhan perintis.

Kondisi area yang dilindungi mengalami kebarakan 25 tahun yang lalu.

Lokasi ini terletak di Chapada dos Veadeiros yang telah rusak beberapa tahun yang lalu. Setelah 25 tahun dibiarkan, sebagian besar area ditutupi oleh tumbuhan dari jenis paku-pakuan. Area tersebut mengalami proses suksesi dan memiliki sedikit fragmen hutan yakni benih dapat tersebar di beberapa tempat dan menciptakan hutan kembali dengan sendirinya.

Dengan kata lain, ekosistem yang rusak tidak bisa secara alami mencapai tingkat kuantitas dan kualitas kehidupan yang berkelanjutan. Untuk menerapkan sistem sintropi di tempat ini, kita harus menggunakan spesies tumbuhan yang tahan terhadap cekaman asam, tahan terhadap tidak adanya kandungan nutrisi mikro, dan tahan terhadap fosfor yang mencapai 1 ppm bersifat toksik. Kita membutuhkan spesies yang dapat menjembatani pemulihan sistem yang melimpah baik itu asli maupun eksotik seperti eukaliptus, margaridão (Tithonia rotundifolia), brachiaria (Brachiaria spp.), agave (Agave americana), sisal (Agave sisalana), pigeon pea (Cajanus cajan), stylosanthes (Stylosanthes spp.), assa-peixe (Vernonia polysphaera), wolf (Solanum lycocarpum), dan lainnya. Dengan membudidayakan tumbuhan ini, kita bahkan tidak memerlukan input eksternal. Kita menyebut sistem ini sebagai akumulasi karena mereka mengakumulasi energi matahari menjadi produk kompleks berupa materi, meningkatkan kandungan bahan organik yang memperbaiki kondisi fisik, kimia, dan biologi tanah, memberi makan biosinosis (interaksi antar organisme yang hidup bersama dalam suatu habitat), memungkinkan penentuan jenis tumbuhan yang diinginkan untuk budidaya hingga mencapai fase sistem kelimpahan. Ketika kita memulai sistem akumulasi, kita bisa menanam tumbuhan berbuah dalam suksesi alami yang sesuai dengan stratanya, tapi kita membutuhkan input eksternal seperti pupuk organik, batu kapur, fosfat, dan lainnya dikarenakan kondisi sistem yang belum sesuai untuk menerima spesies tersebut.

Tidak seperti pertanian konvensional atau organik, dalam sistem pertanian sintropi, penggunaan input eksternal akan terus menurun seiring waktu hingga mencapai fase sistem kelimpahan. Seperti berjalan selaras dengan alam dimana perubahan kecil akan menghasilkan transformasi besar. Sehingga, tiap spesies akan mengikuti spesies lain seiring waktu dan ketika kita memangkas keseluruhan sistem, kita akan mengakselerasi suksesi.

Tips

  1. Hindari memilih jalan mundur dalam suksesi
    Misalnya hindari menanam jenis tumbuhan pengakumulasi dalam sistem kelimpahan seperti lobeira (Solanum lycocarpum) yakni tanaman pengakumulasi dalam sistem kelimpahan dimana rumput benggala (Panicum maximum) tumbuh subur.
  2. Hilangkan tumbuhan lama (sistem lama) dalam sistem baru
    Jika diantara rumput benggala (Panicum maximum) masih tumbuh rumput jenggot kambing (Cyperus spp.) (awal sistem akumulasi), maka harus dihilangkan hingga akarnya. Hal ini dikarenakan jika hanya dipangkas, walaupun menghasilkan biomassa dalam jumlah sedikit, pertumbuhannya akan lebih cepat dibanding rumput benggala (Panicum maximum), sehingga berbunga lebih cepat dan mempengaruhi keseluruhan sistem yang akan memasuki fase penuaan, menurunkan perkembangan tumbuhan lainnya.

Mengapa hama, gulma, dan penyakit muncul pada tumbuhan budidaya kita?

Ketika kita mendesain sistem yang tidak mengikuti alur fase suksesi misalnya melompati sistem akumulasi agar lebih cepat mencapai fase kelimpahan buatan, kita sebetulnya menciptakan ruang resiko bagi tumbuhan yang dianggap gulma untuk tumbuh dan terjadi ledakan serangga, bakteri dan cendawan yang akhirnya menjadi hama dan penyakit.

Ketika kita mencoba untuk menciptakan tanah hutan primer menggunakan input eksternal, kita seringkali menciptakan ketidakseimbangan biocenosis di tanah. Dalam kasus ini, serangga, bakteri, dan cendawan akan memberitahu kita bahwa lingkungan dalam fase akumulasi tidak cocok dengan tumbuhan yang kita tanam yang berasal dari sistem kelimpahan. Serangga, bakteri, dan cendawan ini kemudian berperan dalam mengoptimalkan kehidupan pada fase tersebut dan memberikan pesan kepada kita bahwa semakin sesuai pemilihan konsorsium spesies tumbuhan berdasarkan fase suksesi, semakin cepat kita mencapai sistem kelimpahan. Salah satu alternatif untuk mempercepat suksesi adalah menggunakan input alami (bubuk batu, fosfat alami, kotoran hewan, dan lainnya) dalam jumlah kecil, dan memupuk rumput yang tumbuh di antara baris (rumput yang mampu mencerna input eksternal ke dalam sistem), yang kemudian dipangkas untuk digunakan sebagai pupuk dan mulsa. Dengan hal ini, kita akan menciptakan pelepasan nutrisi secara lambat yang mendukung untuk budidaya dengan tujuan ekonomi. Ketika kita menciptakan sistem kelimpahan buatan, kita wajib memelihara sistem tersebut karena bergantung pada penggunaan input eksternal dalam memperbaiki kesuburan tanah. Sehingga, tumbuhan berbuah yang kita tanam akan tumbuh seiring dengan tumbuhnya beberapa tumbuhan herba dan bentuk kehidupan lain seperti serangga dan mikroorganisme. Dengan kata lain, ketika kita mengabaikan alur fase sistem suksesi (misalnya tanah tandus yang rendah bahan organik atau kepadatan tumbuhan rendah), gulma, serangga dan mikroorganisme ini akan dengan cepat melakukan pekerjaannya untuk menutup tanah, memakan tumbuhan yang kita budidayakan dengan tujuan mendukung keseimbangan alam. Fenomena ini menunjukkan bagaimana sistem suksesi secara alami bekerja sehingga perlu untuk dikuasai dalam menciptakan sebuah pertanian sintropi.

Sistem Kelimpahan

Tanpa memedulikan tahap perusakan dimanapun tempat yang kita temukan, baik itu gurun, area terdegradasi, gua bekas tambang, lahan bekas budidaya, tujuan kita adalah mencapai sistem kelimpahan.

Dalam sistem kelimpahan, kita bisa memproduksi tanpa mengandalkan input eksternal, untuk pakan ternak, maupun konsumsi manusia, dan bagi bumi dalam kuantitas dan kualitas yang mendukung perkembangan penuh potensi tumbuhan tersebut. Seiring waktu, walaupun salah, kita menyebutnya sebagai lahan yang subur yang dihasilkan dari perspektif antroposentris, sebuah konsep yang menyangga fakta bahwa tumbuhan paku (Pteridium aquilinum) muncul pada tahap awal sistem akumulasi. Sekarang, sebagai hasil dari bertahun-tahun pekerjaan memperbaiki tanah dengan teknik yang dikembangkan oleh Ernst Götsch, kalaupun tanpa input eksternal, tumbuhan yang membutuhkan banyak pupuk seperti pepaya (Carica papaya) dan talas (Colocasia esculenta), masih bisa tumbuh melimpah pada area lahan agroekosistem tersebut. Ernst juga mampu memproduksi jagung dan tomat dengan hanya curah hujan 5 mm dan dari pengalaman ini, dia mengatakan bahwa agroekosistem kompleks pada lahan seluas 500 ha mampu mempengaruhi kenaikan tingkat hujan lokal dan sekitarnya. Setelah 30 tahun, Ernst mampu merubah lahan terbengkalai seluas 340 ha menjadi hutan, 17 aliran sungai, dan mayoritas di dominasi oleh tumbuhan tahunan. Grafik suksesi spesies memberikan kita ide tentang bagaimana transisi antara spesies dan fase suksesi. Seiring dengan transisi, tanah mengalami perbaikan pada semua parameter baik itu kimia, fisika, maupun biologi. Hal ini penting untuk diingat bahwa kita memulai agroekosistem dengan menanam seluruh spesies tumbuhan yang mencakup seluruh sistem suksesi (akumulasi dan kelimpahan), dimana tiap sistem merepresentasikan masing-masing strata mereka. Akan tetapi, ketika kita memulai agroekosistem di hutan dengan kuantitas dan kualitas kehidupan yang besar, dimana kita mulai bekerja pada tingkat fase lebih tinggi, kita tidak membutuhkan lagi tumbuhan pada fase akumulasi karena kita telah memiliki tingkat kesuburan tanah yang tinggi.

Dalam hal ini, kita mengintroduksi di tiap lantai strata spesies yang masuk ke dalam sistem kelimpahan, agar memberikan manfaat berupa regenerasi alam yang cepat. Misalnya, kita bisa memasukkan tumbuhan berbuah dan berkayu asli maupun eksotis yang tumbuh baik di tiap bioma. Contoh lain suksesi spesies, kita memulai agroekosistem dengan menanam sayuran (plasenta 1 dan 2), sekunder 1, sekunder 2, dan klimaks, yang mewakili seluruh strata. Setelah 30 atau 40 hari, kita bisa memanen tumbuhan aurugula, lobak, ketumbar, dan moster. Lalu kita bisa memanen tumbuhan selada, brokoli, terong, ubi jalar, ubi kayu, nanas, yacon, dan pepaya.

Spesies tumbuhan di lahan yang memasuki sistem kelimpahan akan berganti dari sayuran menuju tahunan seperti strata emergent embauba (Cecropia sp, sekunder 1, yang hidup 10–20 tahun), raft dan erythrina; kemudian di bawahnya terdapat guapuruvu (Schizolobium parahyba, sekunder 2, yang hidup 60–80 tahun), dan di bawahnya lagi tumbuh melimpah tapi lambat adalah danda (Joanesia princeps, sistem kelimpahan, hidup lebih dari 80 tahun). Ketiga spesies ini masuk ke dalam strata emergent tapi memiliki panjang umur yang berbeda. Embauba dan guapuruvu adalah spesies tumbuhan dari sistem akumulasi, sedangkan danda lebih dekat dengan sistem kelimpahan. Ketika kita memangkas embauba, guapuruvu akan memanjang sedikit lebih banyak di bawah pengaruh beberapa faktor antara lain pertumbahan pesat embauba memicu tumbuhan lain untuk tumbuh dengan baik, pemangkasan bahan organik muda untuk pupuk di sekitar tumbuhan lainnya, dan tingginya input ringan yang dihasilkan dari pemangkasan, serta peningkatan kapasistas fotosintesis diantara spesies tersebut. Jika tidak ada guapuruvu, embauba harus tumbuh lebih lama sembari menunggu spesies lain mengambil alih tempatnya, hingga tercapai seluruh siklus hidupnya, merana karea tua. Ketika waktu telah tiba, guapuruvu mulai mengambil alih tempat embauba. Hal ini menunjukkan fungsi pemenuhan menuju hutan klimaks.

Sekarang, guapuruvu telah mengambil alih bagian atap hutan dan dibawahnya terdapat danda yang tumbuh. Setiap pemangkasan yang dilakukan pada guapuruvu, siklus ini akan terus berulang yakni masukknya cahaya matahari dalam jumlah besar, menginduksi pertumbuhan seluruh sistem melalui mikoriza dan hormon pertumbuhan. Kemudian, danda tumbuh hingga hari dimana ia melewati tinggi guapuruvu. Dalam tahap ini, guapuruvu akan mati karena sebagai tumbuhan emergent, mereka tidak menolerir tumbuhan lain dalam strata tersebut. Jika tidak ada danda, guapuruvu akan terus tumbuh di dalam sistem hingga siklus hidupnya terpenuhi, dimana ini menyebabkan kita terjebak dalam sistem akumulasi beberapa tahun kemudian. Terimakasih kepada manajemen dinamika suksesi melalui pemangkasan, kita bisa mempercepat perubahan fase sistem suksesi dalam fitofisiognomi menuju fase hutan klimaks.

Perlu diingat, dalam pertanian sintropi dibutuhkan intervensi dan pemangkasan untuk meningkatkan kecepatan pembentukan hutan, agar memiliki hormon pertumbuhan dalam fase kelimpahan, perkecambahan, dan sebagai konsekuensi, sistem meregenerasi kembali menjadi muda. Sebuah contoh dalam pertanian sintropi dimana kebutuhan gangguan dalam pembuahan terjadi ketika Topan Richard mengantam Amerika Tengah tahun 2010, menyebabkan kerusakan yang besar, menumbangkan banyak pohon dan juga banyak yang terpangkas. Di tahun berikutnya, di wilayah tersebut, tumbuhan kakao yang dibudidayakan petani tumbuh cepat dan memiliki jumlah produksi buah yang melimpah. Apa yang ingin kita jelaskan dari fenomena ini adalah ketiga spesies dalam strata emergent (embauba, guarapuvu, dan danda) secara sah bisa masuk ke dalam seluruh strata. Tumbuhan ekonomi di tiap strata juga bisa berkontribusi dalam pemangkasan. Misalnya, dalam budidaya kakao, menurut Ernst, pemangkasan bisa mencapai 30% dari keseluruhan pemangkasan dalam sistem. Jika di awal agroekosistem, kita mengatur pengambilan dan penanaman biji dari seluruh strata, kita akan memiliki strata yang kompleks ketika danda muncul mendominasi hutan sebagai tumbuhan emergent satu-satunya.

Kita bisa membayangkan, strata bagian atas mulai memproduksi buah dari pohon nangka, alpukat, jambu mente, mangga; kemudian strata tengah memproduksi cupuacu (Theobroma grandiflorum), rambutan, loquat, jeruk dan lainnya; dan di strata bawah ada kopi, kakao, jabuticaba; dan strata paling bawah terdapat talas, jahe, saffron, taioba dan lainnya. Selain seluruh spesies tumbuhan berbuah ini, kita bisa memiliki banyak spesies tumbuhan penghasil kayu dan non-kayu, asli maupun eksotis, yang berkontribusi dalam memproduksi bahan organik dan fitohormon ketika mereka dipangkas, yang dibutuhkan dalam dinamika auto sistem. Ketika kita memilih apa yang akan ditanam, kita harus hati-hati menghindari membawa tumbuhan yang tidak mampu beradaptasi dengan iklim lokal baik itu temperatur yang terlalu dingin, panas, atau curah hujan tinggi dan lainnya. Misalnya, di Amazon, studi menunjukkan bahwa lebih dari 150 spesies tumbuhan berbuah asli maupun eksotik dapat tumbuh. Tumbuhan yang tidak mampu beradaptasi dengan iklim lokal akan mengalami stress, jika diteruskan, akan mengalami penurunan sistem imun tumbuhan yang berperan penting dalam kelangsungan hidup tumbuhan tersebut.

Sistem imun ini tidak hanya mengacu pada individu tumbuhan tapi dapat mempengaruhi seluruh biocenosis yang berasosiasi dengan zona perakaran, karena mikroorganisme tidak akan memperoleh makanan yang cukup dari eksudat akar tumbuhan, sehingga ekofisiologi menjadi tidak seimbang. Dari perspektif sistem ini, stress atau cekaman adalah ketidak seimbangan tubuh yang terjadi ketika satu atau lebih sebagai variabel bebas menekan ambang batas tumbuhan sehingga menginduksi peningkatan kekakuan dalam sistem dan kehilangan fleksibilitas. Misalnya pada tumbuhan leci (Litchi chinensis), yang membutuhkan banyak faktor pendukung iklim. Tumbuhan ini berkembang dengan baik, tapi tidak memproduksi buah secara memuaskan di wilayah tropis, tapi beradaptasi dengan baik di wilayah dengan iklim dingin dan kering sebelum pembungaan dan dorman sepanjang tahun kering dan lembap. Presipitasi yang ideal untuk leci adalah 1.250 mm dan 1.700 per tahun.

Contoh lain yang menarik adalah pohon mangga (Mangifera indica), buah yang umum dibudidayakan karena tumbuh baik di seluruh bioma di Brasil, tapi hanya memproduksi buah ketika musim kering bertepatan dengan periode pembungaan.

Hal ini menjelaskan bahwa mengapa ekofisiologi tumbuhan adalah salah satu prinsip dasar dalam pertanian sintropi dan dibutuhkan untuk memahami bagaimana tumbuhan bekerja dan merespon terhadap perubahan di lingkungan alami mereka. Dengan menguasai pengetahuan tentang perilaku tumbuhan seperti morfologi, ekologi, dan fisiologi, kita selalu bisa meniru sebanyak yang kita bisa terkait lingkungan alami dimana mereka berevolusi ribuan tahun lamanya.

Dengan terbentuknya hutan penyedia makanan dan kayu, muncul pertanyaan dimana jagung, okra, serealia, dan tomat akan ditanam? Kita mengetahui spesies tersebut tidak bertahan baik di dalam hutan karena mmebutuhkan lebih banyak cahaya matahari, tapi kita masih bisa memproduksinya. Untuk melakukan ini, kita bisa menebang beberapa pohon dalam agroekosistem yang bisa diperbaiki dimana memiliki strata yang rendah atau kita bisa memicu pembuahan pada pohon tersebut di musim berikutnya. Kemudian, kita menanam tumbuhan serealia, tomat, sayuran, tanpa membutuhkan penggunaan pupuk atau input eksternal lainnya, karena sejak kita memulai agroekosistem ini, tanah telah banyak diperbaiki. Tumbuhan ini nantinya akan menjadi lantai hutan, tanpa pemadatan tanah, dengan pH tinggi, ketersediaan fosfat meningkat, aluminium menjadi tidak tersedia, dan rasa dari buah menjadi sempurna karena tersedianya nutrisi mikro.

Lebih banyak lagi, kita bisa memproduksi sayuran dan biji-bijian dengan mengonservasi tanah, menggunakan sedikit air, dan berterimakasih kepada mulsa yang tebal, karena menciptakan profil tanah bagian dalam yang membantu kehidupan jutaan mikroorganisme. Ketika kita menanam sayuran dan biji-bijian, kita juga menanam buah dan penghasil kayu. Dengan semua ini, kita akan memiliki regenerasi alami yang bernilai dimana kita bisa mengaturnya melalui pemangkasan tanpa menganggu persentase naungan di tiap strata. Jika kita ingin menghasilkan serealia, kita memerlukan desain lain yang memang spesifik untuk serealia, dimana kita bisa mengintroduksikan rumput sebagai lapisan rendah dan barisan pohon yang dipangkas setiap ketinggian 4–5 m.

Setelah semua dilakukan, kita akan memperoleh pengalaman dan pengetahuan untuk menciptakan produksi yang sangat tinggi, keragaman hayati yang mampu bertahan dengan dominasi tumbuhan tahunan yang kemudian kita potong untuk mempersilahkan tumbuhan biji-bijian berproduksi atau untuk berternak, dimana seringkali hal ini melawan aliran energi konservasi dan prinsip suksesi spesies alami. Mengenai usaha manusia yang dibutuhkan untuk mengimplementasi dan memelihara sistem sintropi, sebesar 5% usaha ini berkaitan dengan penananam sedangkan 95% sisanya berkaitan dengan pemeliharaan. Jika kita terlambat memelihara atau membiarkannya, konflik akan muncul, seperti tutupan naungan yang berlebihan atau penuaan pada tumbuhan. Akan tetapi, di alam, konflik ini seringkali diselesaikan pada skala waktu yang luas. Pada skala waktu manusia, kita mencari cara untuk mengatur pemangkasan pada strata tanaman agar memperoleh jumlah cahaya atau naungan yang optimal, barulah kemudian kita tutup tanah di sekitar tanaman dengan bahan organik sisa pemangkasan. Kita bisa juga meletakkan batang pohon di sepanjang garis tanam untuk membantu penyerapan air hujan. Ketika kita merawat agroekosistem, kita mempercepat siklus nutrisi dan pengikatan karbon dalam jumlah yang banyak.

Agroekosistem yang terawat dengan baik, sistem silvikultura, dan atau sistem agroekosistem mampu menyimpan hingga 228 ton karbon per hektar. Hal ini penting untuk diketahui bahwa kita bisa menaruh perhatian tidak hanya pada siklus karbon melainkan juga pada faktor hormonal, karena, ketika kita melakukan pemangkasan, kita menstimulus produksi hormon pertumbuhan dari tumbuhan, dimana hormon ini akan tersikulasi ke seluruh sistem. Sebagai hasilnya, fotosintesis meningkat dan pertumbuhan tanaman menjadi lebih cepat dan kuat pada bagian atas maupun di dalam tanah.

Dengan kita memulai mengimplementasikan agroekosistem, sangat diperlukan untuk mengidentifikasi titik dimana suksesi bertemu di area tersebut. Kita bisa melakukannya dengan mengobservasi keberadaan spesies, sebanyak yang ada, seperti thatch (Imperata brasiliensis), dan guanxuma (Sida rhombifolia), yang memberikan kita informasi tentang pH tanah dan tingkat kekompakkan lapisan tanah. Tumbuhan indikator itu berbeda dengan apa yang kita bayangkan, mereka bukan gulma tapi merupakan instrumen penting yang menjelaskan bahwa alam harus memulihkan luka yang terbuka, seringkali disebabkan oleh manusia. Selain itu, tumbuhan yang mengalami defisiensi nutrisi seperti adanya hiperakumulasi, ketika mereka mati, mereka akan meninggalkan relung yang kaya akan nutrisi yang langka, menyiapkan tempat lebih baik bagi tumbuhan selanjutnya dalam suksesi, misalnya tumbuhan myomyo (Bacharis coridifolia).

Biodiversitas, sebuah Instrumen dalam Planet Bumi

Diskusi mendalam tentang suksesi spesies pada sebuah ekosistem, Ernst Götsch memberikan contoh apa yang terjadi di Amazon, ketika sistem alami dalam fase kelimpahan dirusak untuk membuka lahan pertanian dengan pembakaran:

“Setelah sistem hutan fase kelimpahan ini hancur, baik melalui pembakaran atau tidak, dari tanah yang terbuka ini akan muncul tumbuhan seperti pepaya bersama dengan kayu balsa, jaracatia dan erythrine sebagai strata sekunder 1. Pada siklus pertama, petani akan menanam semangka, labu, padi, jagung, kedelai, pisang, dan singkong. Setelah empat hingga lima tahun, tumbuhan ini akan dihilangkan dan dibakar kembali. Pada siklus kedua, mereka masih menanam padi dan tumbuhan kebun. Setelah empat hingga lima tahun, mereka membakarnya kembali. Pada siklus yang ketiga, pepaya tidak lagi memproduksi (kecuali pepaya jantan), dimana pepaya betina yang dipanen hanya ada di kondisi khusus. Tumbuhan parica (Anadenanthera peregrin) tumbuh dan sekarang menjadi strata emergent baik dengan kambium atau tanpa kambium, kemudian di bawahnya muncul tumbuhan euphorbiaceae. Di siklus ini, kita sudah tidak bisa memproduksi padi, hanya singkong dan pisang dalam satu waktu. Pada umur 8 hingga 10 tahun, lahan dibakar kembali. Kini muncul tumbuhan embauba (di akhir masa degradasi), bersama dengan bambu taboca (Guadua weberbaueri). Pada tempat yang rapat dengan tegakan vegetasi, muncul tumbuhan Vismea guianensis. Jika degradasi masih terjadi, seresah thatch (Imperata brasiliensis) akan menumpuk dan mengeringkan tumbuhan capoeira. Kita tidak bisa memproduksi tumbuhan apapun, karena kita mencapai masa kehancuran. Semakin besar kuantitas dan kualitas kehidupan dalam sistem, makin sedikit spesies yang dibutuhkan untuk merestorasi sistem terebut, dibandingkan ketika kita membatasi adanya gangguan dalam sistem. Semakin sedikit kelimpahan vegetasi dalam sistem, semakin besar kebutuhan bagi spesies yang ada untuk pulih kembali.

Gambar di bawah ini menjelaskan pemikiran Ernst bahwa siklus suksesi terjadi di seluruh bioma di planet Bumi.

Menciptakan dan menciptakan kembali, ini adalah hasil kerja Ernst Götsch selama 40 tahun lebih di lahan pertanian sintropi nya, di Piraí do Norte, Bahia, Brazil. Ketika dia melihat bahwa kita bisa memperbaiki hutan dengan tangan kita sendiri, dia mulai menebang pohon dan menanamnya kembali, tanpa input eksternal, melalui fase plasenta 1, plasenta 2, kakao, kacang Brasil, acai, marang, manggis, achachairu dll, kebanyakan dari benih, di tanah yang kemudian tampak memulihkan sendiri kesuburannya. Di foto tersebut, kita melihat singkong di area yang rendah, dimana salah satu sumber pangan dan kayu bakar. Walaupun agroekosistemnya sangat tahan dan produktif, Ernst mengatakan bahwa dia belum mencapai sistem kelimpahan sepenuhnya.

Referensi
Rebello JFDS dan Sakamoto DG. 2021. Agricultura sintropica segundo Ersnt Götsch. Brasil: Reviver Editora.

--

--