Al-Hima — Sebuah Jalan Hidup
Hima merupakan sistem tradisional pengelolaan sumber daya alam yang telah dipraktekkan lebih dari 1400 tahun bahkan sudah ada sebelum menyebarnya Islam di seluruh Jazirah Arab. Hima juga dianggap sebagai lembaga konservasi adat/tradisional yang paling tersebar luas dan bertahan lama di Timur Tengah, dan mungkin di Bumi.
Kata hima dalam bahasa Arab (حمى) berarti tempat atau area yang dilindungi. Sebelum Islam menyebar, akses masuk ke dalam area yang dijadikan hima sangat dilarang oleh perseorangan atau kelompok yang memilikinya. Kemudian, makna hima berkembang lebih jauh menjadi area cadangan, yakni sebidang tanah yang disisihkan untuk regenerasi alam.
Dalam hukum Islam, hima merupakan area alami yang disisihkan secara permanen atau musiman untuk kepentingan umum dan tidak dimiliki oleh perseorangan . Lebih dari 1400 tahun, hima berperan penting dalam konservasi sumber daya alam dan keanekaragaman hayati di Jazirah Arab dan wilayah sekitarnya. Hima telah menjamin penggunaan sumber daya alam terbarukan secara berkelanjutan oleh dan untuk masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Dengan demikian, hima telah menjadi salah satu manajemen yang paling berhasil dalam mengintegrasikan antara konservasi alam dengan kesejahteraan manusia.
Sejarah Hima
Tidak diketahui sampai sejauh mana, hima telah digunakan sebagai instrumen konservasi di masa sebelum Islam. Penguasa hima, yakni perseorangan atau sekelompok orang yang mengklaim memiliki hima akan melarang siapapun untuk memasukinya. Imam Syafi’i rahim rahimahullah, menjelaskan bahwa ketika suku nomaden datang ke tempat baru, sudah menjadi kebiasaan bagi pemimpin suku untuk pergi ke tempat lebih tinggi sambil membawa anjingnya kemudian dipaksa untuk menggonggong sekencang mungkin, sebagai tanda bahwa bahwa seluruh tanah sejauh suara gonggongan bisa terdengar, akan dikuasai oleh suku tersebut dan menjadi hima. Di luar hima, suku ini akan menggembalakan ternaknya di padang rumput biasa sama seperti suku yang lain, tetapi mereka tidak membiarkan suku lain untuk memasuki hima. Ternak yang digembalakan di luar hima biasanya hewan yang lebih lemah dan mereka juga bisa sesukanya mengambil hak istimewa suku lain untuk berbagi dengannya. Hima kadang dianggap sebagai alat penindasan karena hanya dikuasai oleh suku nomaden yang kuat dan memonopoli hak penggembalaan dan pengairan untuk suku mereka sendiri.
Rasulullah Muhammad ﷺ mentransformasi hima dengan menetapkan hukum yang menjadikannya sebagai salah satu instrumen penting konservasi dalam hukum Islam. Di dalamnya, beliau ﷺ menyatakan bahwa “Tidak ada hima kecuali milik Allah dan Rasul-Nya”, beliau ﷺ menghapuskan praktik hima di masa sebelum Islam yakni hanya untuk kepentingan perseorangan atau kelompok suku yang kuat, menjadi praktik hima yang hanya digunakan untuk kepentingan bersama. Beliau ﷺ mendirikan hima an-Naqi’ yang berada di Selatan Madinah untuk pasukan kuda. Beliau ﷺ juga mendirikan hima mengelilingi Madinah yang berfungsi sebagai zonasi dimana ada larangan untuk melakukan aktivitas berburu dalam radius 6,4 km dan merusak pohon dan semak dalam radius 19,3 km. Hima pada masa Islam telah menjadi simbol kesetaraan sosial, perbaikan ekonomi, keadilan dan instrumen konservasi lingkungan.
Pada awal Kekhalifahan, hima banyak didirikan untuk pasukan kuda, unta untuk amal, dan ternak lain untuk kaum dhuafa. Kepedulian mereka terhadap kaum yang lemah ditunjukkan melalui instruksi Umar Bin Khattab radhiallahu ‘anhu (Khalifah Pertama) kepada pengelola Hima Ar-Rabadhah:
“Berhati-hatilah! Turunkan sayap Anda di atas rakyat! Waspadalah terhadap doa kaum muslim yang terzalimi karena akan dikabulkan. Biarkanlah mereka yang menggantungkan hidupnya hanya dari unta dan domba masuk dengan leluasa ke dalam Hima, sedangkan tinggalkanlah ternak Abdurrahman bin Auf radhiallahu ‘anhu dan Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu (sahabat Rasulullah ﷺ), karena jika ternak mereka mati, mereka masih memiliki kurma dan ladang melimpah, sedangkan mereka kaum dhuafa jika ternak mereka mati, mereka akan datang kepadaku seraya berkata, “Wahai Amirul Mukminin…! Lebih mudah bagiku untuk memberi ternak dengan rumput daripada menafkahkan emas atau perak untuk ternak kami.” Sesungguhnya, Hima itu adalah tanah mereka, yang mereka perjuangkan di masa Jahiliyah dan di atasnya pulalah mereka memeluk Islam.”
Dalam hukum Islam, legalnya suatu hima harus memenuhi empat syarat yang berasal dari aturan Rasulullah ﷺ dan Khalifah radhiallahu ‘anhu:
1. Dibentuk oleh Imam, di bawah otoritas pemerintah yang sah
2. Didirikan dengan niat di jalan Allah untuk kesejahteraan bersama
3. Tidak boleh menyebabkan kesulitan bagi masyarakat di sekitar Hima, seperti merampas sumber daya mereka yang sangat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup
4. Mempertimbangkan manfaat yang lebih besar bagi masyarakat daripada kerugian yang diperoleh
Tentunya landasan hukum pembentukan hima tersebut sangat sesuai dengan pemikiran saat ini tentang kesetaraan dalam perencanaan dan pengelolaan kawasan konservasi.
Hima terus ada baik di dekat pemukiman maupun di daerah masyarakat nomaden sepanjang Abad Pertengahan. Ukuran hima pun bervariasi dari beberapa hektar hingga ratusan kilometer persegi.
Pemerintah pusat memberikan wewenang sekaligus memantau suku-suku tertentu untuk menjaga dan mengelola hima. Selama berabad-abad, masyarakat lokal pedesaan dan nomaden berhasil menetapkan strategi perencanaan dan pengelolaan lingkungan yang menyeimbangkan pertumbuhan populasi penduduk dan penggunaan sumber daya alam sesuai dengan hukum Islam dan juga sistem pemerintahan suku tersebut. Masyarakat lokal terus mengelola hima hingga paruh pertama abad ke-20, mencakup seluruh wilayah kekuasaan Kekhalifahan Utsmaniyah yakni Yordania, Suriah, dan sebagian Yaman serta Arab Saudi.
Hima telah melayani baik dari segi budaya maupun spiritual dengan tujuan manajemen lingkungan untuk sumber mata pencaharian.
Hima Tradisional di Arab Saudi
Jazirah Arab merupakan tempat kelahiran hima dan wilayah di mana hima berkembang dan menyebar dengan luas. Disamping hima didirikan dan dikelola langsung oleh pemerintah pusat untuk keperluan pasukan kuda atau tujuan lainnya, kebanyakan hima juga didirikan dan dikelola oleh masyarakat lokal yang telah diakui oleh pemerintah pusat. Sebagian besar hima berfungsi sebagai cadangan penggembalaan yang terbatas hanya untuk masyarakat desa, klan atau suku, dimana hima ini disisihkan agar bisa beregenerasi sebagai bagian dari strategi manajemen penggembalaan. Dalam banyak kasus, hima dijaga agar tidak tereksploitasi secara berlebihan oleh penggembala nomaden. Pada tahun 1960-an, diperkirakan ada sekitar 3000 hima di Arab Saudi. Hampir setiap desa di sisi barat daya pegunungan Jazirah Arab memiliki satu atau lebih hima. Hima lainnya juga berada di wilayah utara dan tengah. Luas hima bervariasi dari 10 hektar hingga 1000 hektar. Hima tradisional membentuk suatu area lahan untuk konservasi dan penggunaan secara berkelanjutan yang dikelola dengan baik.
Pengelolaan hima secara tradisional terbukti sangat adaptif dengan karakteristik lahan yang beragam dan kebutuhan masyarakat setempat. Hima tradisional dikategorikan sebagai berikut:
1. Penggembalaan dilarang, tetapi rumput yang berada di dalam hima dapat dipanen dengan tangan pada waktu dan tempat yang ditentukan selama musim kering, dan harus digunakan untuk pakan ternak. (Biasanya dewan suku yang menentukan jumlah orang dari setiap keluarga yang diizinkan untuk mengambil rumput, dan menentukan lokasi yang akan digunakan untuk mencegah terjadinya erosi tanah).
2. Hutan lindung, dimana penebangan pohon (misalnya Juniperus procera, Acacia spp., Haloxylon persicum), juga cabang dan rantingnya dilarang atau diatur. Pemotongan pohon umumnya tidak diperbolehkan kecuali dalam keadaan darurat.
3. Padang rumput yang dikelola mencakup:
a. Penggembalaan dan pemotongan rumput diizinkan secara berkala sesuai musim untuk memungkinkan regenerasi alami, setelah rumput dan tanaman lain tumbuh, berbunga dan berbuah,
b. Penggembalaan diizinkan sepanjang tahun tapi dibatasi untuk jenis tanaman tertentu dan jumlah ternak tertentu seperti sapi perah atau hewan pengangkut barang,
c. Ternak dalam jumlah terbatas dapat digembalakan untuk waktu tertentu selama musim kering,
4. Cadangan untuk pemeliharaan lebah, dimana penggembalaan dilarang secara musiman atau dalam pengecualian kondisi tertentu (cadangan musiman ditutup selama lima bulan dalam setahun termasuk bulan-bulan musim semi, penggembalaan hanya diperbolehkan setelah musim berbunga).
5. Cadangan untuk konservasi kambing hitam (Capra ibex).
Hima dapat didirikan utuk tujuan apapun yang berkaitan dengan kebaikan bersama, sehingga hima dapat dikelola untuk konservasi keanekaragaman hayati atau penggunaan sumber daya alam secara berkelanjutan. Dalam pratiknya, hima tradisional di Arab Saudi lebih banyak digunakan untuk tujuan penggunaan. Berbeda dengan hima pemerintah, hima tradisional diatur berdasarkan peraturan masyarakat lokal. Sebagian besar dikelola oleh dan untuk masyarakat desa, klan, atau suku. Komunitas lokal, baik suku maupun bukan, mengatur penggunaan lahan melalui musyawarah bersama daripada intruksi dari pusat. Mereka memiliki sistem pemerintahan hierarkis yang mapan dan dipimpin oleh seorang syekh atau kepala suku, yang memiliki perwakilan kelompok atau kerabat melalui komisi, komite dan dewan. Hal ini memungkinkan pengelolaan lingkungan yang tepat karena masing-masing kelompok memiliki tanggung jawab dalam menjaga lingkungan.
Namun demikian, pengelolaan hima secara tradisional perlu dikaji ulang seperti harus didirikan hanya oleh otoritas pemerintah yang sah dan untuk kebaikan bersama. Hal ini dikarenakan sebagian besar hima tradisional dikelola oleh dan untuk masyarakat desa atau suku tertentu sehingga hima berpotensi bertentangan dengan kepentingan bersama. Pengelolaan hima tradisional masih didasarkan pada kesetiaan terhadap suku dan biasanya menjadi sumber konflik antar suku akibat persaingan memperebutkan sumber daya alam.
Disisi lain, pengelolaan hima secara historis mencerminkan tingkat struktural masyarakat. Pada masa Rasulullah ﷺ dan awal Kekhalifahan, pemerintah pusat memiliki pengaruh kuat dalam mengatur struktural masyarakat. Setelah itu, unit-unit pemerintahan yang efektif di daerah pedesaan umumnya bersifat kesukuan hingga abad ke-20. Penguasa sering kali mendelegasikan kepala suku untuk mendirikan dan mengelola hima, walaupun memang pendelegasian wewenang tersebut didasarkan pada praktik yang dilakukan oleh Rasulullah ﷺ, dan dalam situasi tertentu sangat efektif untuk menopang resiliensi masyarakat lokal. Selain itu, salah apabila menganggap hima satu-satunya yang bertanggung jawab dalam konflik antar suku, dimana tidak seperti wilayah suku yang lebih luas, dan terus-menerus dipertahankan dari invasi suku lainnya, sebagian besar hima hanya terdiri dari wilayah yang kecil dan dipertahankan dari para penyusup di dalam suku tersebut.
Dalam hukum Syariah Islam, pelanggaran yang terjadi di hama secara historis akan dihukum dengan cara penyitaan hewan ternak tanpa izin, hewan tunggangan, peralatan, dan bahkan pakaian. Di bawah aturan masyarakat lokal, pelanggaran hima secara tradisional dihukum dengan menyembelih satu atau lebih hewan yang melanggar untuk memberi makan anggota masyarakat setempat, tapi belakangan ini sanksinya hanya berupa denda, dan jika pelanggaran terjadi berulang akan dipenjarakan.
Keutamaan Hima
Tradisi hima merupakan budaya preseden yang penting dalam melindungi dan mengelola sumber daya publik dimana setiap individu memiliki hak guna seperti hak untuk penggembalaan. Hal ini menjadi penting di negara-negara yang sebagian besar tanahnya digunakan untuk penggembalaan dan hanya dimiliki oleh sedikit orang.
1. Hima merepresentasikan pengakuan tradisional terhadap kebutuhan untuk mengalokasikan akses sumber daya langka dan menggambarkan kebutuhan ini telah dilakukan selama ratusan tahun lamanya
2. Dengan mengalokasikan manfaat untuk masyarakat lokal yang secara langsung diuntungkan oleh konservasi, hima menyediakan insentif tambahan bagi masyarakat lokal untuk berinvestasi dalam pemeliharaan sumberdaya alam dan melindunginya dari penyalahgunaan serta eksploitasi berlebihan
3. Hima mengalokasikan sumberdaya secara adil diantara anggota masyarakat lokal
4. Hima terbukti layak secara ekonomi dari waktu ke waktu karena manfaat dan jaminan sosial yang diberikan
5. Hima telah dan masih menjadi daya tarik populer karena dapat diterima secara sosial dan diinginkan oleh masyarakat lokal sebagai pelaksananya
Walaupun dengan berbagai kelebihannya, hima bukan segalanya, hima juga menghadapi berbagai konflik yang sama seperti yang dihadapi oleh kawasan lindung lainnya, dan masalah itu akan terus ada. Namun, konsep hima memang memperkenalkan unsur normatif yang jarang dikaji ketika berbicara tentang kawasan lindung. Hima harus dipahami tidak hanya dalam kerangka hubungan kesukuan dan praktik-praktik adat yang menjadi ciri khas hima tradisional, tetapi juga dalam kerangka prinsip-prinsip etika yang luas.
*Artikel merupakan ringkasan bagian dari Kilani, Hala, Serhal A, Llewlyn O. 2007. Al-Hima: A way of life. Beirut, Lebanon: IUCN West Asia regional Office.