Agroekologi: Rekonstruksi Sistem Pertanian di Masa Pandemi COVID-19
Pandemi COVID-19 secara jelas menunjukkan betapa rapuhnya sistem industri pangan global. Pengaruh pandemi dalam rantai pertanian dan suplai pangan telah menaruh perhatian besar terhadap krisis ketersediaan pangan dan lonjakan harga hingga dirasa perlu adanya sebuah rekonstruksi sistem pangan yang lebih memenuhi hak-hak sosial dan ekologi, membawa semangat resilien dan berdaulat, yang saling terhubung secara lokal di komunitas masyarakat perkotaan dan pedesaan.
Beberapa waktu lalu, masih di masa pandemi, muncul sebuah gerakan yang dipelopori oleh kelompok aktivis dan intelektual urban yang memprakarsai sebuah renstra yang dinamakan Ekonomi Hijau (Green Economy). Ekonomi hijau bertujuan untuk membentuk sebuah masyarakat yang kuat dan resilien dalam menghadapi tantangan global kedepan seperti pandemi, resesi dan krisis iklim. Renstra ini mendukung penuh pertanian skala keluarga (family farming) yag berkelanjutan dimana penggunaan lahan pertanian lebih mengedepankan tercapainya kesehatan tanah dan memastikan akses terhadap pangan sehat secara universal. Tentunya, pencapaian visi tersebut membutuhkan sebuah kesadaran akan peningkatan kemakmuran masyarakat dan sebuah sistem pangan yang terlokalisasi melalui bantuan petani yang lebih mandiri dan resilien kedepannya (Patel dan Goodman 2020).
Agroekologi sebagai sebuah transformasi sains, praktek dan gerakan, telah gencar mengampanyekan kedualatan pangan, dan berpotensi dijadikan sebagai strategi dalam merekonstruksi sistem pangan di masa pandemi COVID-19. Agroekologi juga bisa dibilang sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem pangan global yang didominasi oleh korporasi besar. Visi utama agroekologi adalah penguatan sistem pangan yang lokal, inklusif dan adil (Mier et al. 2018).
FAO (2016) sebetulnya telah menginisiasi sistem pangan alternatif yang lebih berkeadilan melalui rantai suplai makanan yang pendek, skema pemasaran secara langsung, pemasaran produk secara kooperatif, pasar petani, ruang publik yang berkelanjutan, kebun komunitas dan sekolah, sistem pertukaran barang, dan konsumsi segar dari lahan tanam terdekat. Namun, dengan munculnya pandemi ini, inisiasi tersebut makin sulit dijalankan karena sistem yang ada sekarang belum siap untuk bertransformasi. Walaupun demikian, pandemi ini telah mengajarkan manusia makna sosial lebih mendalam dalam pergerakan ekonomi seperti kooperasi antara produsen dan konsumen menjadi lebih kuat, asosiasi peminjaman modal lokal, organisasi dapur skala komunitas dan program pengadaan pangan lokal yang mendukung masyarakat marjinal.
Agroekologi menyediakan prinsip bagaimana mendesain dan mengatur sistem pertanian terbaik untuk menghadapi krisis kedepan, baik itu ledakan hama penyakit, pandemi, disrupsi iklim, maupun resesi ekonomi. Oleh karena itu, pilihan terbaik untuk merekonstruksi sistem pertanian dan pangan di masa pandemi adalah dengan menerapkan konsep agroekologi melalui penguatan hubungan antara pertanian, alam dan kesehatan manusia.
Mengganti Pestisida Sintetik dengan Musuh Alami
Sebagian besar pestisida menyebabkan efek negatif bagi kesehatan manusia dan lingkungan. Dalam prinsip agroekologi, petani dituntu untuk mandiri dan berdaulat tanpa menggantungkan diri dari penggunaan agrokimia yang merusak ekosistem dan kesehatan manusia. Restorasi ekosistem, pemulihan serangga penyerbuk dan peningkatan kelimpahan musuh alami mampu mendorong terciptanya pengendalian hama secara alami dan berkelanjutan.
Agroekosistem yang bebas dari insektisida, pertanian organik, memungkinkan populasi predator lebih kuat dalam menekan hama dan penyakit di lapang (Crowder et al. 2010). Sebagai studi kasus, dalam kurun waktu dua tahun, seluruh hama pisang di Golfito, Costa Rica, berada di ambang bawah batas kendali akibat upaya parasitasi dan predasi setelah menghentikan penggunaan insektisida semprot (dieldrin dan carbaryl). Sama halnya dengan kasus pohon kenari di California, dimana pengendalian biologi pada serangga frosted scale (Parthenolecanium pruinosum) dan calico scale (Eulecanium cerasorum) tercapai ketika penggunaan penyemprotan DDT dihentikan dan memicu peningkatan musuh alami parasitoid Encyrtid (Croft 1990). Rekayasa agroekosistem menambah diversitas komoditas tanaman di lahan monokultur juga memicu peningkatan populasi musuh alami karena ketersediaan alternatif mangsa yang beragam, sumber nektar melimpah dan mikrohabitat yang mendukung siklus hidup predator (Altieri dan Nicholls 2004).
Salah satu cara agar terlepas dari ketergantungan akan pestisida adalah mengganti sistem monokultur dengan sistem pertanian polikultur yang kompleks, dimana terdapat interaksi ekologi antara komponen biologi yang menyediakan kesuburan tanah, meningkatkan produktivitias dan sebagai proteksi tanaman terhadap hama dan penyakit. Model ini memberikan petani keleluasaan untuk mengatur komponen ekologi apa saja yang dibutuhkan di lahan mereka ketimbang mengikatkan diri dengan perusahaan penyedia pestisida kimia sintetik.
Memperkaya Biodiversitas dan Fungsi Ekosistem
Ada anggapan bahwa cara terbaik mengurangi dampak modernisasi pertanian terhadap integritas ekosistem adalah melalui intensifikasi produksi agar produktivitas hasil meningkat sehingga menekan laju deforestasi akibat ekspansi lahan pertanian.
Pendukung intensifikasi pertanian ini kerap kali mengaitkan dua asumsi dasar sebagai justifikasi, (1) sistem produksi pangan alternatif (tidak menggunakan kimia sintetik) membutuhkan lahan lebih banyak agar bisa memproduksi jumlah hasil yang sama dengan sistem intensifikasi, (2) dampak negatif terhadap ekologi dan kesehatan akibat industri pertanian sangatlah minim diibandingkan ekspansi agroekologi yang membutuhkan lebih banyak lahan tanam (Phalan et al. 2011).
Disisi lain, peningkatan biodiversitas merupakan kunci utama dalam strategi agroekologi. Agroekosistem haruslah menyerupai/memimiki tingkat biodiversitas dan fungsi ekosistem lokal alaminya. Jika pertanian dijalankan seperti model alaminya di alam, maka dari segi produksi, resistensi terhadap hama dan nutrisi yang terkonservasi bisa dicapai. Analogi ekosistem ini bisa dicapai menggunakan pendekatan biodiversitas untuk meningkatkan fungsi agroekosistem sehingga memungkinkan lahan pertanian menjadi subur, sehat dan memproduksi hasil pertanian yang berkelanjutan, tanpa harus menggunakan bahan agrokimia dari luar. Banyak studi telah dilakukan yang menunjukkan peningkatan kelimpahan serangga menguntungkan dan musuh alami sebagai pengendali biologi pada lahan yang menggunakan tanaman liar sebagai pembatas luar. Pembatas tersebut menjadi relung yang mendukung kolonisasi musuh alami di dalam lahan pertanian (Marino dan Landis 1996).
Dalam sistem pertanian tradisional, seringkali unit produksi pangan dan ekosistem alami saling berdekatan jaraknya sehingga terbentuk sebuah agroekosistem tunggal yang terintegrasi. Petani tradisional adalah contoh bagaimana lahan pertanian bisa berdampingan dengan ekosistem alam. Petani mampu memanfaatkan, memelihara dan melestarikan ekosistem alam disamping melakukan aktivitas bertani untuk memproduksi pangan tanpa harus melakukan perusakan ekosistem. Pola subsisten dalam masyarakat petani tradisional seperti mengumpulkan makanan, berburu dan memancing, dianggap sangatlah produktif untuk menambah penghasilan disamping dari kegiatan bertani (Altieri, Anderson, dan Merrick 1987).
Menghidupkan Kembali Petani Kecil
Agroekologi mampu merestorasi kapasitas produksi petani kecil melalui penurunan hama, penyakit dan gulma secara signifikan serta meningkatkan kesuburan tanah. Produksi pangan yang tidak menggunakan agrokimia luar dan memaksimalkan biodiversitas tanaman pangan akan meningkatkan pendapatan juga kecukupan nutrisi melalui diversifikasi pangan (Altieri 1999). Sejak awal tahun 1980an, organisasi petani bersama LSM global gencar mempromosikan dan mengimplementasikan agroekologi sebagai upaya konservasi alam tapi juga menghasilkan produksi pangan yang tinggi. Beberapa proyek agroekologi di Afrika, Asia dan Amerika latin menunjukkan bahwa kombinasi budidaya tanaman dan hewan ternak secara tradisional sering digunakan untuk meningkatkan produktivitas ketika struktur biologi lahan dalam prakteknya menggunakan prinsip agroekologi, dan ketika buruh tani dan sumber daya lokal digunakan secara efisien (Rosset dan Altieri 2017).
Fakta lain menyebutkan bahwa prinsip agroekologi mampu meningkatkan hasil pertanian tradisional, dengan hasil per area lahan marjinal dari 400 hingga 2500 kg/ha, juga memperbanyak agrobiodiversitas dan tentunya berpengaruh terhadap ketahanan pangan dan integritas lingkungan. Beberapa praktek agroekologi juga menekankan penggunaan pupuk hijau mampu meningkatkan hasil panen jagung dari 1–1.5 ton/ha menjadi 3–4 ton/ha di lahan dataran tinggi (Uphoff 2002).
Di Kuba, praktek agroekologi telah digunakan oleh 46–72% petani untuk memproduksi lebih dari 70% pangan nasional, misalnya 67% akar dan umbi, 94% ternak kecil, 73% padi, 80% buah dan paling banyak madu, kacang, kelapa, jagung, tembakau, susu dan produksi daging (Rosset et al. 2011). Petani kecil yang menggunakan prinsip agroekologi memperoleh hasil per hektar yang cukup untuk memberi makan 15–20 orang per tahun dengan efisiensi energi tidak kurang dari 10:1 (Fune dan Vazquez 2016).
Amplifikasi agroekologi terhadap petani tradisional tidak hanya mungkin dilakukan tapi juga sangat krusial untuk mencapai kedaulatan pangan dalam komunitas masyarakat karena petani kecil mendominasi pertanian global sebesar 30% dan memproduksi 30-70% pangan dunia (ETC 2017).
Sistem Produksi Ternak secara Ekologis
Agroekologi juga mendukung sistem produksi ternak, silvopastoral, bentuk kombinasi hijauan pakan ternak (rumput dan herba legum/kacang-kacangan) dengan semak dan pohon untuk nutrisi ternak dan penggunaan lainnya. Sistem silvopastoral juga memperkaya biodiversitas dengan menciptakan habitat kompleks yang mendukung keragaman tanaman dan hewan sehingga meningkatkan biota tanah dan konektivitas antar tegakan vegetasi. Seperti pohon dan palem menyediakan tidak hanya kayu tapi juga buah, biji dan polong yang bisa digunakan sebagai sumber makanan manusia, ternak dan hewan liar lainnya.
Secara bersamaan, vegeteasi pohon dalam lanskap silvopastoral juga memberikan manfaat tidak langsung seperti perawatan dan peningkatan kesuburan tanah, fiksasi nitrogen, dan pengambilan nutrisi dari horizon tanah yang dalam, disamping itu juga membantu pengisian ulang nutrisi tanah, bahan organik, dan mendukung jaring-jaring makanan yang komples (Murgueitio et al. 2011).
Sistem silvopastoral menjamin produksi ternak yang sehat. Selain itu, silvopastoral juga merestorasi lanskap dan kurang kondusif dalam memicu terjadinya epidemi, seperti halnya kondisi peternakan konvesional yang menjadi sumber dari pandemi COVID-19. Penggunaan antibiotik juga jarang digunakan karena hewan ternak hidup di area terbuka dan konsumsi pakannya langsung dari rumput yang ditanam secara organik sehingga meningkatkan sistem imunitas hewan ternak tersebut. Sistem rotasi penggembalaan yang digunakan dalam silvopastoral juga mampu meningkatkan laju produksi sapi sebanyak 4.3 ekor per hektar dan produksi susu lebih dari 100% padahal sama sekali tidak menggunakan pupuk dari luar(Murgueitio et al. 2015).
Aktivitas Pertanian Kota (Urban Farming)
Di tengah krisis pandemi COVID-19, muncul gaya hidup baru pada masyarakat perkotaan yakni mulai menanam makanan mereka sendiri di pekarangan rumah walaupun tidak terlalu luas. Hal ini tentunya memberi dampak baik sebagai bentuk alternatif ketahanan pangan kedepannya, dimana 60% populasi global hidup di kota, termasuk 56% kelas bawah dan 20% kelas masyarakat yang kurang nutrisi (de Bon, Parrot dan Moustier 2009). Produksi pangan segar di kota seperti sayur, buah dan hewan ternak kecil bisa mendorong tercapainya ketahanan pangan dan nutrisi secara lokal berkelanjutan (Smit et al. 2001).
Pada tahun 1993, data menunjukkan hanya 15% makanan yang dikonsumsi secara global berasal dari kota. Akan tetapi, pada tahun 2005, produksi pangan di kota secara tak terduga mencapai 30%, dua kali lipatnya dalam kurun waktu 15 tahun. Perubahan gaya hidup ini terus berlanjut hingga di era pandemi COVID-19 dan tentunya akan mempengaruhi produksi pangan secara global yang diperkirakan mencapai 100–180 juta ton pangan per tahun, dimana pertanian kota mampu menyediakan 15–20% pangan global (Martellozo et al. 2014).
Di satu sisi, prinsip agroekologi telah digunakan dalam produksi pangan di perkotaan, tentunya dengan menekankan diversifikasi tanaman dan juga meminimalisir penggunaan agrokimia dari luar. Di Kuba, model pertanian agroekologi “organoponicos” mampu menghasilkan pangan sekitar 15–20 kg/m²/tahun (Funes dan Vazquez 2016). Selama musim 1984–1985 di Chili, ada sebuah laporan yang menunjukkan dari sepetak lahan tanam perkotaan seluas 11.05 m² yang terdiri dari 16 jenis sayuran berbeda, mampu menghasilkan 117,4 kg sayuran selama setahun, kurang lebih 16 kg/m²/tahun. Rahasia tingginya produksi pangan perkotaan di Kuba dan Chili tidak lain adalah penggunaan prinsip agroekologi dimana penanaman jenis tanaman yang beragam yakni sayuran, umbi, akar dan herba dalam satu petak lahan yang kecil.
Agroekologi bisa dibilang mampu meningkatkan produksi pangan perkotaan hingga 15 kali dari produksi pangan pedesaan. Di Kuba, area tanam seluas satu meter persegi mampu memproduksi 20 kg makanan per tahun (200 tomat = 30 kg), 36 selada tiap 60 hari, 10 kubis tiap 90 hari, dan 100 bawang tiap 120 hari. Dengan menimbang rata-rata konsumsi sayuran tiap orang sekitar 72 kg/tahun, maka lahan tanam yang dikelola secara intensif seluas 10 m² mampu menghasilkan 200 kg sayuran per tahun, dan berpotensi menyediakan sekitar 55% kebutuhan sayuran lima keluarga sepanjang tahun (Clouse 2014).
Peningkatan produktivitas pertanian kota juga turut berkontribusi dalam ketahanan pangan lokal dengan semakin mudahnya masyarakat dalam mengakses pangan dan meningkatkan kecukupan nutrisi melalui diversifikasi pangan (Maxwell 2002). Selain itu, dengan memakan makanan penuh nutrisi yang berasal dari tumbuhan secara lokal dan organik, juga akan meningkatkan sistem imun tubuh. Pangan yang berasal dari tumbuhan akan meningkatkan akvititas bakteri baik dalam usus dan seluruh kesehatan mikrobioma usus, yang berkontribusi lebih dari 85% sistem imun tubuh (Tilg dan Moschen 2015).
Pandemi COVID-19 menyadarkan kita bahwa produksi pangan pertanian kota sangat membantu masyarakat dalam mengakses pangan secara lokal dan segar disamping karena faktor pembatasan wilayah yang menurunkan transportasi pangan dari desa ke kota sehingga ketersediaan pangan di kota juga menurun.
Pada akhirnya, pandemi COVID-19 akan terus mendorong sistem pangan global agar bertransformasi ke arah sistem yang lebih tahan terhadap krisis di masa mendatang. Perubahan tarnsformasional dalam pertanian musti dibarengi dengan perubahan dari sistem ekonomi berorientasi pasar menjadi komunitas, dari bahan bakar fosil menjadi terbarukan, dan dari korporasi besar menjadi kooperatif kecil. Sistem dunia baru ini harus dipimpin oleh masyarakat dari aliansi sosial, gerakan pemerhati kota dan desa, yang secara aktif terlibat menjadikan pertanian lokal sebagai aset penting dalam menyediakan pangan dan mendukung otonomi, disamping tetap mengkonsolidasikan agroekologi yang berkelanjutan dan sehat baik manusia dan lingkungan.
*disarikan dari “Agroecology and the reconstruction of a post-COVID-19” agriculture, Miguel A. Altieri and Clara I. Nicholls. The Journal of Peasant Studies. 2020.
Referensi
Altieri, M. A. 1999. “Applying agroecology to enhance productivity of peasant farming systems in Latin America.” Environment, Development and Sustainability 1: 197–217.
Altieri, M. A., M. K. Anderson, and L. C. Merrick. 1987. “Peasant Agriculture and the Conservation of Crop and Wild Plant Resources.” Conservation Biology 1: 49–58.
Altieri, M. A., and C. I. Nicholls. 2004. Biodiversity and Pest Management in Agroecosystems. 2nd ed. New York: Haworth Pres
Clouse, C. 2014. Farming Cuba: Urban Agriculture From the Ground Up. New York: Princeton Architectural Press.
Crowder, D. W., T. D. Northfield, M. R. Strand, and W. E. Synder. 2010. “Organic Agriculture Promotes Evenness and Natural Pest Control.” Nature 466 (7302): 109–112. doi:10.1038/nature09183.
de Bon, H., L. Parrot, and P. Moustier. 2009. “Sustainable Urban Agriculture in Developing Countries. A Review.” Agronomy for Sustainable Development 30: 21–32. doi:10.1051/agro:2008062.
ETC Group. 2017. Who Will Feed Us? The Peasant Food Web vs. the Industrial Food Chain. www. etcgroup.org/whowillfeedus.
FAO. 2016. Connecting Smallholders to Markets. www.fao.org/fileadmin/templates/cfs/Docs1516/cfs43/CSM_Connecting_Smallholder_to_Markets_EN.pdf.
Funes, F. A., and L. M. Vazquez. 2016. Avances de la agroecología en Cuba. Matanzas, Editora. Estación Experimental de Pastos y Forrajes Indio Hatuey.
Marino, P. C., and D. L. Landis. 1996. “Effect of Landscape Structure on Parasitoid Diversity and Parasitism in Agroecosystems.” Ecological Applications 6: 276–284.
Martellozzo, F., J. S. Landry, D. Plouffe, V. Seufert, P. Rowhani, and N. Ramankutty. 2014. “Urban Agriculture: A Global Analysis of the Space Constraint to Meet Urban Vegetable Demand.” Environmental Research Letters 9 (6): 064025. doi:10.1088/1748–9326/9/6/064025.
Maxwell, D. 2002. The Importance of Urban Agriculture in Food and Nutrition. http://www.ruaf.org
Mier, M., T. Giménez Cacho, O. F. Giraldo, M. Aldasoro, H. Morales, B. G. Ferguson, P. Rosset, A. Khadse, and C. Campos. 2018. “Bringing Agroecology to Scale: key Drivers and Emblematic Cases.” Agroecology and Sustainable Food Systems 42 (6): 637–665. doi:10.1080/21683565.2018.1443313.
Murgueitio, E., Z. Calle, F. Uribe, A. Calle, and B. Solorio. 2011. “Native Trees and Shrubs for the Productive Rehabilitation of Tropical Cattle Ranching Lands.” Forestry, Ecology and Management 261: 1654–1663.
Murgueitio, E., M. Flores, Z. Calle, J. Chará, R. Barahona, C. Molina, and F. Uribe. 2015. “Productividad en Sistemas Silvopastoriles Intensivos en América Latina.” In Sistemas Agroforestales. Funciones Productivas, Socioeconómicas y Ambientales. Serie Técnica Informe Técnico 402, CATIE, Turrialba, Costa Rica, edited by F. Montagnini, E. Somarriba, E. Murgueitio, H. Fassola, and B. Eibl, 59–101. Cali: Fundación CIPAV.
Patel, R., and J. Goodman. 2020a. “The Long New Deal.” Journal of Peasant Studies 47: 431–463.
Phalan, B., M. Onial, A. Balmford, and R. E. Green. 2011. “Reconciling Food Production and Biodiversity Conservation: Land Sharing and Land Sparing Compared.” Science 333: 1289. DOI: 10.1126/science.1208742.
Rosset, P. M., B. Machin-Sosa, A. M. Roque-Jaime, and D. M. Avila-Lozano. 2011. “The Campesino a Campesino Agroecology Movement of ANAP in Cuba.” Journal of Peasant Studies 38 (1): 161–191.
Rosset, P. M., and M. A. Altieri. 2017. Agroecology: Science and Politics. Nova Scotia: Fernwood Publishing.
Smit, J., J. Nasr, and A. Ratta. 2001. Urban Agriculture: Food, Jobs and Sustainable Cities. 2nd ed. Washington, DC: The Urban Agriculture Network, with permission from the United Nations Development Programme.
Tilg, H., and A. R. Moschen. 2015. “Food, Immunity, and the Microbiome.” Gastroenterology 148: 1107–1119. doi:10.1053/j.gastro.2014.12.036.
Uphoff, N. 2002. Agroecological Innovations: Increasing Food Production with Participatory Development. London: Earthscan.